PELAKSANA Tugas (Plt) Gubernur Riau Brigjen (Pur) TNI AD Edy Natar Nasution mendapat PR berat membangun jembatan dalam tempo kurang dari dua bulan. Tapi tak masalah. Sebagai seorang prajurit, Edy Natar sudah terlatih menghadapi situasi sulit. Dia pernah berhasil keluar dengan selamat dari tantangan medan pertempuran ganas di Timor Timur pada suatu masa dulu. Tapi membangun jembatan tentu beda dengan tantangan di medan perang.
Tak ada yang tak mungkin bagi Edy Natar. Sebagai seorang purnawirawan perwira tinggi TNI AD, Edy Natar pasti paham, seorang pemimpin politik di daerah memang harus membangun banyak jembatan, segala bentuk jembatan. Membangun jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai dari empat sungai besar (Rokan, Siak, Kampar dan Sungai Kuantan/Indragiri), atau menghubungkan beberapa pulau di pesisir Selat Melaka, itu kecil. Kuncinya hanya anggaran. Skema pembiayaannya bisa disiasati (pusat-daerah) dan bisa dihitung.
Namun jembatan yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) Plt Gubri Edy Natar dalam tempo dua bulan ini adalah jembatan abstrak. Ada jarak imajiner yang harus dijembatani di tengah masyarakat yang sedang terombang-ambing diterpa politisasi kehidupan berlebihan. Tentu gampang-gampang sulit. Masyarakat ibarat sedang berlayar di tengah badai, ombak dahsyatnya adalah kebebasan dan keterbukaan tak bertepi. Kondisi itu pada saat yang sama dihadapkan pula dengan keperkasaan media yang luar biasa, baik media mainstream, media internet, apalagi media sosial yang sarat dengan konten hoax
Maka, mudah kita lihat, terjadinya polarisasi, fragmentasi, pengelompokan di tengah masyarakat, menimbulkan gap atau jurang, seperti SARA, afiliasi politik, berbagai sekte, atau hanya sekadar grup WA yang aktif memviralkan berita-berita untuk tujuan tertentu. Anatomi masyarakat seperti itu menimbulkan jarak, yakni jarak sosial, jarak kultural, dan jarak emosional.
Jarak sosial misalnya terbentuk karena perbedaan agama, pendidikan, bahasa, etnosentris, dan juga stereotip (persepsi terhadap suatu etnis), dan sebagainya. Perbedaan ini menimbulkan adanya jarak, yang biasanya diikuti pertentangan, ketidakintiman, rasa curiga, ketegangan, disharmoni, bahkan konflik di tengah Masyarakat.
Jarak kultural kita pahami: keberagaman budaya merupakan kekayaan bangsa, tapi kita juga kenyang dengan ketegangan-ketegangan yang berbau adat budaya lintas etnis. Jarak kultural ini timbul akibat adanya stereotip yaitu suatu prasangka buruk dari satu etnis ke etnis lainnya.
Sesungguhnya, perbedaan dalam masyarakat yang majemuk sudah hukum alam. Bukankah hidup ini terdiri dari kafilah panjang perbedaan? Filsuf Thomas Hobbes menyebut, bellum omnium contra omnes, manusia itu cenderung bersaing antar sesama karena kepentingan. Wajar. Tapi bila tumpangan kepentingan terlalu berlebihan alias overdosis dan dipaksakan, Hobbes menyebut akan terjadi homo homini lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Masalahnya dibuat rumit ketika kita harus berhadapan pula dengan fenomena ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas di tengah kehidupan masyarakat kekinian. Masyarakat kehilangan role model (teladan). Norma keteladananan, banyak yang hilang, sehingga masyarakat kehilangan pegangan. Masyarakat yang kehilangan norma, akan menjadi masyarakat yang kehilangan bentuk atau masyarakat anomie seperti disebut sosiolog Prancis Emile Durkheim.
Masyarakat anomie akan kehilangan budaya saling percaya (trust culture). Hal ini yang menyebabkan manusia yang bersangkutan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang jahat, yang indah dengan yang buruk. Ia akan menganggap kekerasan dan kejahatan sebagai hal yang biasa. Itu jugalah yang terlihat dalam masyarakat kita, rendahnya budaya saling percaya. Kita menjadi Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang rendah, atau low rust society seperti disebut Francis Fukuyama.
Alat kontrol manusia agar tidak terperangkap dalam jebakan batman kepentingan, sebenarnya ada, yakni hati nurani. Sayangnya, fenomena yang terjadi, kita sedang terkena pandemi virus akal budi, yang lebih dahsyat daripada Covid-19. Virus akal budi menyerang hati nurani, hati sanubari. Seperti ditulis Richard Brodie dalam buku Virus of The Mind (1996), virus akal budi adalah segala gagasan, pemikiran, konsep, dan ideologi yang berebut tempat dalam pikiran seseorang dan menularkannya secara diam-diam, cepat dan sigap, menguasai sedikit demi sedikit akal budi atau akal sehat seseorang dan menyeretnya ke berbagai arah tak menentu, tak jelas dan membuat kita terombang-ambing.
Solusinya? Di Tengah banyaknya gap atau jarak sosial di tengah masyarakat, kita memerlukan pemimpin yang mampu memainkan bridging leadership (kepemimpinan yang menjembatani). Bridging leadership adalah gaya kepemimpinan yang fokus pada penciptaan dan pemeliharaan hubungan kerja yang efektif serta kemampuan untuk membangun kepercayaan dan menggali kontribusi penuh dari stakeholder yang beragam, menjembatani perbedaan dan bekerja dalam kemitraan yang transformatif.
Bridging leader yang efektif aktif akan mampu membangun kolaborasi untuk menghasilkan inovasi. Bersahabat dalam perbedaan, tutup gap, ciptakan keterbukaan sistem, jaga keseimbangan dalam simfoni fleksibilitas. Ah Jenderal, itik sudah pasti pandai berenang. Kalau boleh, kita berdoa tunda senja dalam dua bulan ini.***
Penulis:
DR Chaidir
Ketua Umum FKPMR