KEMARIN Pemprov Riau mengungkapkan telah menyiapkan dua lokasi untuk pelaksanaan program transmigrasi di provinsi ini. Yakni di Kabupaten Bengkalis dan Indragirihilir.
Pemprov mungkin ingin mengulang keberhasilan transmigrasi di masa Orde Baru tempo hari. Wajah kemakmuran kini tampak jelas di lokasi transmigrasi. Seperti di Sungai Pagar, Kabupaten Kampar, dan Lubuk Dalam, Kabupaten Siak.
Namun, rencana pelaksanaan transmigrasi kali ini nampaknya kurang mendapat respon positif dari masyarakat tempatan. Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Rupat (HPMR) Bengkalis, Rahmat Syukri Hidayat, misalnya menyampaikan keresahan masyarakat yang mempertanyakan dasar penunjukan Pulau Rupat sebagai lokasi transmigrasi. “Kami ingin tahu apa yang melatarbelakangi kebijakan ini,” katanya.
Menurut Rahmat, Pulau Rupat memiliki nilai strategis, baik dari sisi pariwisata, budaya, maupun lingkungan. “Karena itu, penetapan wilayah ini harus benar-benar melalui pertimbangan matang. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif di kemudian hari,” katanya.
Di kabupaten Inhil sendiri dikabarkan bahwa dari hasil survei lapangan yang dilakukan pemda setempat, disebutkan sudah tidak ada lahan itu bisa digunakan. Lahan di Pulau Burung sebagai lokasi yang direncanakan, masuk kawasan hutan serta rencana kawasan industri. Sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk program transmigrasi.
Adanya semacam penolakan terselubung itu boleh jadi karena selama ini sebagian masyarakat beranggapan program transmigrasi cuma menguntungkan pendatang. Kaum tempatan hanya jadi penonton saja melihat kemewahan para kaum transmigran itu.
Memang semua hasil yang didapat merupakan perjuangan dan kerja keras yang mereka lakukan pada masa lalu. Bekerja di lahan hutan yang baru dibuka dengan tantangan alam yang cukup besar. Masih banyak gajah dan harimau. Sementara untuk menghidupi anak istri hanya dibekali jatah hidup berupa beras, garam, dan ikan asin.
Saat kehidupan mereka kini sudah berjaya, di depan rumah mereka bertengger truk colt diesel pengangkut buah sawit. Bahkan di Lubuk Dalam, konon ada yang pakai mobil mewah Alphard. Rumah mereka pun kelihatan mentreng.
Pemandangan seperti ini mau tau mau dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Warga tempatan sebenarnya ingin meniru keberhasilan tersebut. Namun mereka justru terhalang untuk mendapatkan lahan. Jatah lahan gratis dua hektare untuk kebun sawit dan setengah hektare untuk pekarangan kini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa sekarang hanya kawasan hutan lindung dan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik para konglomerat.
Seandainya masih terus berlangsung keinginan Pemprov Riau untuk menjalankan Program Transmigrasi, sebaiknya diutamakan bagi penduduk tempatan saja. Atau yang lebih dikenal dengan transmigrasi lokal. Mendatangkan warga baru di tengah situasi sulit seperti sekarang ini, berpotensi untuk menimbulkan kericuhan dengan warga setempat. Mari jadikan warga asli sebagai tuan di negerinya sendiri. Jangan sampai mereka cuma jadi penonton semata. ***
Penulis: Irwan E Siregar
Wartawan Senior Bermastautin Riau