Tanah Ulayat di Minangkabau: Benteng Komunal yang Terancam Sertifikasi Individual

0 53

DI tengah arus modernisasi dan penetrasi hukum agraria nasional, tanah ulayat Minangkabau menghadapi ancaman serius: sertifikasi individual. Padahal, dalam falsafah adat Minangkabau yang berbunyi “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, tanah ulayat bukan sekadar aset fisik, melainkan simbol ikatan sosial, identitas kolektif, dan keberlanjutan hidup kaum adat.

Tanah Ulayat: Hak Komunal yang Sakral

Tanah ulayat adalah tanah milik kaum, bukan individu. Ia dikuasai secara komunal oleh masyarakat adat dan diwariskan lintas generasi. Pengelolaannya tunduk pada hukum adat yang menjamin pemerataan akses, perlindungan terhadap anggota kaum, dan pelestarian lingkungan. Sertifikasi atas nama pribadi bukan hanya melanggar prinsip ini, tetapi juga membuka pintu bagi fragmentasi sosial dan konflik horizontal.

Falsafah adat Minangkabau menegaskan prinsip ini melalui ungkapan:
“Dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando.”
Artinya, tanah ulayat tidak boleh dijual karena hasil penjualannya tidak dapat menggantikan nilai tanah itu sendiri (dimakan bali), dan tidak boleh digadai karena hasil gadai tidak dapat menebus makna dan fungsi tanah bagi kaum (dimakan sando). Ini adalah peringatan adat bahwa tanah ulayat bukan komoditas, melainkan warisan sakral yang tak tergantikan.

Sertifikasi Individual: Ancaman Terhadap Keadilan Adat

Ketika tanah ulayat disertipikatkan atas nama seseorang, maka hak kaum lainnya terhapus secara hukum. Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan pengingkaran terhadap hak kolektif yang telah dijaga selama ratusan tahun. Sertifikat tanah bersifat eksklusif dan individual, sedangkan tanah ulayat bersifat inklusif dan komunal. Dua sistem ini tidak kompatibel tanpa mekanisme perlindungan adat yang kuat.

Potensi Sengketa dan Keretakan Sosial

Sudah banyak kasus di mana sertifikasi tanah ulayat berujung pada sengketa berkepanjangan. Ketika satu anggota kaum menjual tanah yang telah disertipikatkan, kaum lainnya kehilangan akses dan hak atas tanah tersebut. Konflik pun tak terhindarkan, meretakkan hubungan kekeluargaan dan merusak tatanan sosial adat. Negara pun sering kali gagal memberikan solusi karena hukum positif tidak mengenali struktur komunal adat secara utuh.

Urgensi Perlindungan Hukum dan Pengakuan Negara

Negara wajib menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B UUD 1945 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Tanah ulayat harus diakui sebagai entitas hukum yang sah, dengan mekanisme registrasi kolektif atau pengakuan komunal yang tidak menghilangkan hak kaum. Pemerintah daerah dan lembaga agraria harus berhati-hati dalam menerbitkan sertifikat di wilayah adat, dan wajib melibatkan lembaga adat dalam setiap prosesnya.

Menolak Sertifikasi Individual, Menjaga Marwah Adat

Menolak sertifikasi individual atas tanah ulayat bukan berarti menolak pembangunan atau kepastian hukum. Sebaliknya, ini adalah bentuk perlawanan terhadap peminggiran hak komunal dan penjagaan terhadap sistem sosial yang telah terbukti adil dan lestari. Di Minangkabau, tanah bukan milik pribadi, melainkan titipan leluhur untuk generasi mendatang.

Penulis: Afrijon Ponggok Katik Majolelo

*Mahasiswa S2 Hukum UNILAK

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.