Pekanbaru dan Dosa Penundaan

0 68

Pekanbaru dan Dosa Penundaa

KEMACETAN, biaya logistik, dan peluang ekonomi yang terlewat adalah harga dari pilihan untuk menunda._

Kemacetan di Pekanbaru bukan kejadian spontan; ia tumbuh dari tahun ke tahun, dibiarkan bertambah, hingga menjadi bagian dari identitas kota. Jalan-jalan utama bergerak dalam ritme lambat, seolah kota sudah berdamai dengan macet. Padahal, solusi untuk mengurai persoalan ini telah lama berada di meja perencanaan. Yang belum hadir adalah keberanian untuk memastikan eksekusi.

Sebagai simpul strategis di Sumatra, Pekanbaru seharusnya menjadi contoh kota yang bergerak maju. Kehadiran Tol Pekanbaru–Dumai seharusnya mempercepat logistik dan menarik arus investasi. Tetapi tanpa dukungan konektivitas memadai, terutama melalui Jalan Lingkar 70 dan Jembatan Siak V, manfaat tol hanya terasa setengah. Kendaraan berat tetap masuk kota, arus logistik bercampur dengan mobilitas harian warga, dan kemacetan terus diwariskan tanpa solusi.

Surabaya punya MERR untuk mengalihkan beban kendaraan besar dari pusat kota. Balikpapan dan Samarinda merasakan hasil Tol Balsam yang memangkas waktu tempuh antar-kota. Cikarang berkembang karena akses kawasan industri disiapkan lebih dulu sebelum aktivitas produksi berjalan. Semua contoh itu punya kesamaan: konektivitas diselesaikan sebelum masalah membesar. Di Pekanbaru, sebaliknya, masalah membesar sebelum solusi dimulai.

Jalan Lingkar 70 dirancang untuk menjadi jalur pengalihan kendaraan berat menuju Tol Pekanbaru–Dumai. Tanpa itu, truk logistik melewati pusat kota, mempercepat kerusakan jalan, memicu kecelakaan, dan menaikkan biaya distribusi. Jembatan Siak V menjadi simpul penghubung menuju kawasan selatan dan membuka akses ke *Kawasan Industri Tenayan Raya*, yang selama ini disebut masa depan ekonomi Pekanbaru namun seperti masa depan yang belum mendapat pintu masuk. Selalu dekat di peta, tetapi jauh dalam perjalanan.

Hal penting yang sering terlewat dalam diskusi publik adalah bahwa kedua proyek ini telah masuk dalam RPJMN 2025–2029. Artinya, negara sudah mengakui urgensi strategisnya. Yang belum tuntas adalah mendorongnya masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), sehingga memiliki prioritas pendanaan, percepatan perizinan, dan kepastian eksekusi. Tanpa status PSN, proyek ini berisiko kembali menjadi deretan rencana baik yang dibicarakan, tetapi tidak diselesaikan.

Di tingkat pemerintah kota, alasan yang sering muncul adalah keterbatasan fiskal. Dengan APBD terbatas, proyek berskala besar memang tak mungkin berdiri sendiri tanpa dukungan pusat dan provinsi. Namun terlalu sering bersandar pada alasan yang sama dapat mengubah argumen menjadi mantra pengampun penundaan. Alasan anggaran dapat dipahami, tetapi jika diulang bertahun-tahun, ia berubah dari realitas teknis menjadi pembenaran politis.

Di sisi lain, *Pemprov Riau memiliki kepentingan langsung.* Jika tidak mendorong percepatan, ada sejumlah kerugian strategis yang harus ditanggung.

*Pertama, kerugian ekonomi.* Tanpa konektivitas memadai, biaya logistik tetap tinggi. Bank Dunia menyebut peningkatan kualitas infrastruktur dapat menurunkan biaya distribusi hingga 20 persen. Riau, sebagai provinsi penghasil komoditas, kehilangan daya saing jika ongkos kirim barang ke pelabuhan atau kawasan industri tetap lebih mahal dari daerah lain.

*Kedua, kerugian investasi.* Investor industri membutuhkan kepastian akses dan distribusi. Tanpa jalan lingkar dan jembatan sebagai jalur utama menuju Tol Pekanbaru–Dumai, Kawasan Industri Tenayan Raya sulit bergerak. Potensi kawasan itu untuk menjadi pusat manufaktur, logistik, dan energi berisiko tinggal dalam dokumen rencana. Di pasar investasi, peluang tidak menunggu; ia pindah ke wilayah yang lebih siap.

*Ketiga, kerugian ekologis.* Kemacetan bukan hanya persoalan kenyamanan, tetapi juga emisi. Kendaraan yang merayap di tengah kota menghasilkan gas rumah kaca lebih tinggi dibanding kendaraan yang bergerak stabil. Tanpa pemisahan arus kendaraan lokal dan logistik, target penurunan emisi provinsi berpotensi stagnan.

*Keempat, kerugian politis.* Jika provinsi lain berani memperjuangkan proyek ke pusat dan berhasil masuk PSN, Riau akan terlihat pasif. Dalam politik infrastruktur, diam bukan posisi netral—diam adalah kerugian.

Karena itu, masuknya proyek ini ke RPJMN 2025–2029 harus dilihat bukan sebagai garis akhir, melainkan garis start. Selanjutnya, Pemprov Riau perlu mengambil posisi terdepan dalam advokasi: menyiapkan kajian manfaat, menegaskan kebutuhan lintas wilayah, hingga mengusulkan skema pendanaan campuran. Jika tidak, Pekanbaru kembali menjadi kota dengan rencana besar dan kenyataan kecil.

Pada akhirnya, persoalan kota ini bukan kekurangan rencana, melainkan berlebihnya penundaan. Jalan Lingkar 70 dan Jembatan Siak V bukan ide baru—mereka adalah kebutuhan yang terlalu lama menunggu giliran. Dan seperti dosa-dosa lain di ruang publik, dosa penundaan selalu tampak kecil di awal, hingga pada akhirnya menumpuk menjadi masalah yang membebani semua orang.

Penulis: Heri Susanto
*Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.