DERAKPOST.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau resmi mengajukan amicus curiae atau pendapat sahabat pengadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/5/2025). Amicus curiae diajukan lewat surat resmi bernomor 36/WalhiRriau/V/2025. Kajian ini diajukan sebagai bagian dari perkara gugatan yang diajukan Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan pihak lainnya, terdaftar dalam perkara Nomor: 1186/PDT.G/2024/PN.JKT.SEL.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring kepada wartawan, Kamis (29/5/2025) mengatakan, pengajuan amicus curiae ini bertujuan untuk mendorong tanggung jawab lembaga keuangan, khususnya Bank Mandiri, atas dampak pembiayaan mereka terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan hidup.
“Perkara ini adalah momentum penting bagi negara untuk memastikan lembaga pembiayaan tidak lagi mendanai pelaku usaha perkebunan yang selama ini terlibat dalam perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan peningkatan emisi karbon,” jelas Even dikutip dari laman GoRiaucom.
Dalam perkara ini, terdapat perusahaan yang terafiliasi dengan PT Astra Agro Lestari Tbk di Provinsi Riau, yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan, konflik agraria, hingga berbagai persoalan lingkungan lainnya.
Menurut Walhi Riau, lembaga peradilan harus memprioritaskan prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis dalam membuat keputusan, serta menilai tanggung jawab korporasi maupun bank dalam pembiayaan proyek yang merusak lingkungan.
“Jika lembaga peradilan gagal menegakkan prinsip keberlanjutan, maka itu akan memperkuat impunitas terhadap pelaku perusakan lingkungan dan mencederai mandat konstitusional peradilan,” tegasnya.
Even berharap majelis hakim dalam perkara ini berpihak pada hak atas lingkungan yang sehat serta hak asasi manusia, dengan mengabulkan seluruh permohonan penggugat. Ia juga mendesak agar hakim mengadopsi precautionary principle atau prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lebih lanjut, Even menyebut Indonesia telah memiliki perangkat hukum terkait green banking, antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan.
Bahkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga telah mengadopsi prinsip keberlanjutan melalui kebijakan dan pelaporan keberlanjutan. Namun, menurut Even, regulasi tersebut tidak cukup jika tidak disertai dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas.
“Prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan harus diwujudkan dalam praktik nyata, bukan sekadar administratif. Diperlukan pengawasan kuat dan sanksi yang tegas untuk memastikan setiap bank benar-benar menjalankan prinsip keberlanjutan,” pungkasnya. . (Dairul)