Waduh….. Pacu Jalur Di Kuansing tak Selaju Dukungan dari Pusat

0 58

DERAKPOST.COM – Pacu Jalur di Kuansing, yang tepatnya pada tepian Sungai Kuantan, suara gendang seakan-akanya sudah mulai ditabuh. Anak-anak berlarian di antara jalur ditambatkan, sementara dari pemuda desa juga memoles badan perahu dengan warna warni khas, merah, kuning, hijau, menkilat di bawah matahari. Di haluan, seorang bocah 11 tahun bernama Dikha berdiri tegak, memerankan Togak Luan, simbol keberanian dan penuntun jalur. Gerakannya halus namun tegas, bersemayam dalam tradisi yang kini dikenal dunia dengan sebutan aura farming.

Dari batang Sungai Kuantan, Pacu Jalur menjelajah ke jagat global, mengundang kekaguman hingga ke layar-layar digital mancanegara. Tapi di tanahnya sendiri, jalur-jalur itu seperti mendayung melawan arus, sebab semangat masyarakat tak seiring dengan dukungan dari pemerintah pusat hanya baru sebatas “air liur” pada konsep.

Pacu Jalur tahun ini akan digelar pada 20–24 Agustus 2025 di Tepian Narosa, Teluk Kuantan. Persiapan teknis disebut telah mencapai 75 persen. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, dukungan nyata dari pusat masih tertinggal jauh di belakang sorak-sorai rakyat yang bergema di sepanjang sungai.

“Secara teknis sudah hampir rampung. Tapi bantuan dari pusat masih sebatas konsep. Finansial belum,” kata Bupati Kuansing, Suhardiman Amby saat berhadapan dengan wartawan akhir pekan dikutip dari laman Riaukepri.

Menteri Pariwisata, sambung Suhardiman hanya memberikan dukungan dalam bentuk wacana. Realisasi dana belum juga mengalir ke panitia lokal. Padahal, Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai salah satu dari Kharisma Event Nusantara (KEN), event nasional unggulan Kemenparekraf.

“Yang dibutuhkan bukan hanya ucapan, tapi suntikan dana. Kami butuh stadion permanen. Kami harap ada dukungan APBN,” lanjutnya.

Syair Peluh

Setiap tahunnya, masyarakat membangun tribun penonton dari kayu. Sementara penonton yang datang bisa mencapai puluhan ribu. Kerja keras mereka seperti syair pelayaran kolektif yang ditulis dengan peluh, alat berat dikerahkan untuk normalisasi sungai, turap diperbaiki, jalur dilatih setiap pagi dan sore.

Di tengah segala keterbatasan itu, semangat warga tak pernah surut. Pacu Jalur bukan sekadar lomba. Ia adalah identitas, harga diri, dan sumber ekonomi bagi desa-desa. Jalur-jalur panjang itu mewakili lebih dari sekadar tim, mereka adalah simbol kampung, hasil gotong royong, dan warisan yang tak ternilai.

Satu jalur bisa melibatkan ratusan orang dalam prosesnya, pengukir, pelatih, juru bicara, pengayuh, hingga tukang masak. Semua bersatu demi satu tujuan, membuat perahu mereka melesat paling depan, menembus riuhnya tepian Narosa, diiringi teriakan penonton yang menggema sampai ke hulu.

Harapan

Tahun ini, harapan besar tertuju pada kedatangan Presiden atau Wakil Presiden ke Kuansing. Suhardiman menyebutkan kehadiran pemimpin nasional bukan hanya soal simbolik, melainkan peluang untuk membuka mata pusat atas potensi besar tradisi ini.

“Mudah-mudahan kedatangan Pak Presiden atau Wapres membawa serta bantuan infrastruktur yang permanen,” ujarnya.

Di saat budaya lain perlahan tergilas zaman, Pacu Jalur tetap tegak berdiri, meski dengan kaki yang lelah menopang. Tapi sampai kapan warga Kuansing harus mengandalkan kayu dan semangat saja? Sampai kapan tradisi besar ini akan terus didayung dengan janji-janji?

Mereka yang ada di tepian Narosa tidak menunggu hadiah. Mereka hanya ingin keadilan, agar suara dayung mereka didengar, agar jalur mereka bisa melaju selaju dukungan. Sebab ketika pusat lambat menyambut, sungai tetap mengalir. Dan masyarakat Kuansing, seperti jalur yang tak pernah menyerah, akan terus mendayung meskipun tangan mengelepuh dan kulit menjadi kedal dijilat matahari.  (Dairul)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.