DERAKPOST.COM – Proses eksekusi dan penyitaan lahan dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dilakukan sebagai babak penting dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Dalam pernyataan resminya, Wakil Komandan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) wilayah Sumatra, Brigadir Jenderal Dodi Triwinarto S.IP, menegaskan bahwa negara hadir untuk mengembalikan fungsi konservasi kawasan tersebut sebagaimana mestinya.
“Kami ingin sampaikan kepada masyarakat bahwa negara hadir. Kita ingin kembalikan kawasan ini kepada fungsinya. Tidak ada aktivitas komersial di sini. Semuanya harus kembali ke sifat awalnya sebagai kawasan konservasi,” tegas Brigjen Dody kepada awak media, baru-baru ini.
Di tengah ada eksekusi lahan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan, muncul dugaan keterlibatan dari PT Riau Andalan Pulp and Paper dalam alih fungsi hutan konservasi menjadi perkebunan sawit.
Dikutip dari laman Riausatu. Sebuah papan bertuliskan “Lahan Taman Nasional Tesso Nilo Seluas 81.793 Ha Ini dalam Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia” berdiri di tengah semak belukar dan barisan pohon sawit yang tumbuh di dalam kawasan TNTN
Di balik pemasangan papan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) itu, terselip babak baru dari konflik panjang antara konservasi dan korporasi.
Di lokasi ini, Brigadir Jenderal Dody Triwinarto, Wakil Komandan Satgas PKH, menyampaikan pernyataan tegas: negara hadir untuk mengambil alih kembali kawasan yang telah dikuasai secara ilegal, termasuk oleh perusahaan besar.
“Kita ingin mengembalikan fungsi kawasan ini sebagai taman nasional. Tidak ada ruang untuk aktivitas komersial di sini,” kata Dody kepada wartawan, menjelang eksekusi penyitaan lahan.
Tesso Nilo, yang semula digagas sebagai pilot project konservasi nasional, telah lama dikritik karena perambahan masif.
Banyak lahan di kawasan ini telah berubah fungsi menjadi kebun sawit maupun hutan tanaman industri.
Dalam peta sitaan yang dirilis Satgas, ditemukan indikasi adanya lahan milik PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)—anak usaha raksasa pulp dan kertas, APRIL Group—yang tumpang tindih dengan zona konservasi TNTN.
“Ada HTI milik RAPP yang masuk kawasan TNTN. Ini irisan yang sedang kami telusuri lebih lanjut,” ujar Dody, dilansir Sekatanews.com, Kamis (12/6/2025).
Pantauan lapangan menunjukkan sisa-sisa barisan pohon akasia—komoditas bahan baku pulp milik RAPP—masih berdiri di antara batang-batang sawit.
Sebagian terlihat seperti sisa kebakaran, seolah menjadi saksi bisu peralihan fungsi hutan.
Seorang pekebun yang mengaku mengelola sawit di area tersebut mengatakan bahwa lahan itu dulunya ditanami akasia.
“Sebelum saya tanami sawit, sudah ada akasia di sana. Bapak bisa lihat, kayu-kayu itu masih ada, seperti bekas terbakar,” ujar petani tersebut yang meminta namanya tak dicantumkan.
Pemeriksaan Dirut RAPP
Sinyal keterlibatan RAPP dalam perambahan kawasan TNTN kian kuat ketika Direktur Utama PT RAPP, Mulya Nauli, dipanggil dan diperiksa oleh Satgas PKH di Gedung Kejaksaan Tinggi Riau pada 27 Mei 2025. Mulya berada di dalam gedung selama lebih dari dua jam.
Namun saat dicegat wartawan, ia memberi jawaban yang mengundang tanya: “Saya hanya menemui teman.”
Ketika ditanya siapa teman yang dimaksud, Mulya gelagapan. “Tidak ada,” katanya sembari buru-buru meninggalkan lokasi pemeriksaan.
Desakan Menyasar Korporasi
Aktivis lingkungan dari Jikalahari, , mendesak Satgas dan penegak hukum tidak berhenti pada petani kecil.
Ia menekankan pentingnya menindak tegas korporasi besar yang merusak kawasan konservasi.
“Penegakan hukum jangan tebang pilih. Tindak tegas korporasi dan cukong sawit. Kawasan konservasi harus dipulihkan, bukan terus-menerus dikompromikan,” tegasnya dalam pernyataan tertulis kepada redaksi.
Ia juga menyerukan transparansi data dan akuntabilitas penindakan. “Jangan ada lagi korporasi yang berlindung di balik abu-abunya izin atau pembiaran masa lalu,” ujar Okto.
Upaya konfirmasi kepada pihak RAPP tak membuahkan hasil. Pesan WhatsApp yang dikirimkan media ke Aji, staf komunikasi perusahaan, tidak mendapat balasan hingga berita ini diterbitkan.
Kasus Tesso Nilo bukan semata konflik agraria, tapi juga ujian bagi keberanian negara dalam menghadapi korporasi besar.
Ketika akasia berganti sawit dan taman nasional berubah menjadi ladang komoditas, yang dipertaruhkan bukan hanya kawasan konservasi, melainkan kredibilitas penegakan hukum itu sendiri. (Dairul)