Sudah Daftar Pilkada, Ini Kata Pengamat Soal Kepala Daerah di Riau Manfaatkan Jabatan untuk Sosialisasi

0 169

 

DERAKPOST.COM – Pilkada Riau 2024 ini, tidak sedikit kepala daerah memanfaatkan jabatan untuk sosialisasi. Terkait tersebut, Saiman Pakpahan selaku pengamat politik dari Universitas Riau ini mengatakan tentu dapat merusak tatanan demokrasi.

Diketahui, memasuki masa Pilkada 2024, perhatiannya publik tertuju pada sejumlah calon yang masih memanfaatkan fasilitas negara serta jabatan yang mereka emban untuk keperluan politik pribadi. Fenomena ini memicu kekhawatiran keadilan didalam proses demokrasi di Indonesia.

Saiman Pakpahan, pengamat politik dari Unri menyoroti praktik ini sebagai bentuk surplus kekuasaan itu dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah yang disaat ini memegang jabatan publik. “Mereka yang sedang menjabat tetapi mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” katanya.

Kondisi itu sering memanfaatkan fasilitas negara dan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan politik, ujar Saiman. Ia menambahkan bahwa secara substansial, ketika seorang pejabat perlihatkan gestur politik dan niat bertarung didalam Pilkada, maka harusnya itu menanggalkan semua fasilitas publik yang melekat.

“Secara substansial, ketika dia sudah terlihat ingin bermain politik, dia harus fair dan meninggalkan jabatan tersebut. Karena fasilitas yang dia gunakan adalah fasilitas publik, bukan fasilitas kelompok,” jelas Saiman kepada wartawan dihubungi via ponselnya.

Namun, dalam praktiknya, banyak calon kepala daerah itu yang berlindung di balik pendekatan administratif. Mereka dengan beralasan, bahwasa status mereka masih sebatas calon dan belum juga ditetapkan secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Secara administratif, mereka berlindung dengan alasan bahwa mereka belum ditetapkan sebagai calon. Sehingga masih bisa memanfaatkan jabatan yang mereka pegang,” lanjutnya.

Saiman menyoroti contoh nyata di mana masih ada calon kepala daerah yang sampai saat ini tetap menjabat, dan berkeliling melakukan sosialisasi dengan menggunakan fasilitas negara, sementara baliho-baliho sosialisasinya sudah tersebar di berbagai tempat.

“Kalau ditanya, mereka mengatakan, ‘Saya kan masih mendaftar, belum ditetapkan.’ Secara administratif, memang benar, tapi secara substansial, mereka sudah menjadi calon dan mulai memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan elektoral,” tambahnya.

Situasi ini menimbulkan dilema bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang terikat pada aturan yang ada. Menurut Saiman, Bawaslu tidak dapat bertindak karena tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur situasi seperti ini.

“Bawaslu sendiri juga terikat oleh aturan yang ada, sehingga tidak bisa menindak karena secara administratif, memang belum ada pelanggaran,” ungkapnya.

Masalah ini semakin kompleks ketika dihadapkan dengan peraturan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana ASN kecil dilarang berpolitik, namun para pemimpin yang mencalonkan diri justru memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan politik.

“Ironisnya, ASN kecil dilarang berpolitik, tapi mereka yang memimpin justru berpolitik. Ini adalah masalah besar dalam sistem pemerintahan kita yang membiarkan fenomena politik berjalan secara substansi, tapi tunduk pada aturan birokrasi yang tidak memadai,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa KPU sebagai penyelenggara Pilkada seharusnya dapat membaca dan menangani situasi ini dengan lebih baik. KPU itu harusnya bisa melihat gestur politik ini, bahwa seorang pejabat mencalonkan diri memanfaatkan kekuasaannya untuk capai kepentingan elektoral.

“Ini merusak demokrasi karena mereka sangat memanfaatkan sumber daya yang seharusnya bisa dimiliki secara adil oleh semua peserta Pilkada,” tegasnya. Untuk itu, kedepan diperlukan regulasi yang lebih tegas untuk mencegah penyalahgunaanya jabatan oleh calon kepala daerah ini masih menjabat, demi hal memastikan kompetisi politik yang sehat. (Dairul)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.