PEKANBARU, Derakpost.com- Izin dari PT Logo Mas Utama (LMU), beroperasi di kawasan Pulau Rupat diminta untuk dicabut. Desakan terhadap perusahaan tambang pasir ini disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau kepada Gubernur Syamsuar.
Pasalnya eksploitasi berlebihan daerah atau kawasan laut menyebabkan Pulau Rupat di Kabupaten Bengkalis terancam tenggelam. Selain itu tambang pasir PT LMU ini, membuat ekonomi masyarakat mengalami tekanan disebab tangkapan ikan yang berkurang drastis.
Diketahui, kalau kegiatan penambangan PT LMU, di pesisir utara Pulau Rupat itu sejak 2021 dan juga merusak ekosistem laut. “Aktivitas penambanga pasir pihak PT LMU ini merusak biota laut. Terumbu karang serta habitat dugong turut rusak. Bahkan, semakin memperparah abrasi,” ungkap Even Sembiring.
Dalam siaran pers, disebutkan Direktur Eksekutif Walhi Riau ini, kerusakan dari sejumlah wilayah itu Pulau Beting Aceh, Pulau Babi, serta Pulau Rupat Utara. Hal ini sambungnya, diketahui bagian utara Pulau Rupat terancam tenggelam, yang sesuai pada hasil investigasi Walhi Riau sinkron penolakan warga.
“Investigasi ini sinkron sikap penolakan warga terhadap PT LMU oleh dua desa di Pulau Rupat, khususnya dari nelayan. Bahkan aktivitas penambangan pasir itu dilakukan PT LMU tak hanya berdampak pada nelayan di Pulau Rupat saja, tetapi nelayan dari Kota Dumai dan Kabupaten Rohil juga,” ungkap Even.
Aktivitas penambangan pasir PT LMU, ini katanya, sangat kontradiktif dengan semangat mengembangkan pariwisata di Pulau Rupat serta gugus pulau kecil lain di sekitarnya. Aktivitas tambang itu malah menjadi ancaman bisa merusak destinasi pariwisata tersebut. Sehingga ini, harus jadi perhatian.
Even menjelaskan penolakan dilakukan warga berhasil menghentikan aktivitas PT LMU. Dan sejak 24 Desember 2021, diketahui perusahaan tersebut tidak lagi melakukan hal aktivitas tambang di laut pesisir utara Pulau Rupat. Maka, WALHI mendesak gubernur lakukan evaluasi legalitas perizinan PT LMU.
Kesempatan itu dari Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin menjelaskan, Pulau Rupat dengan luas 150.288 hektar atau sekitar 1500 km2 termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan hal tersebut, berbagai konsesi dibebankan di atas pulau kecil itu dilarang.
Tambang pasir yang menghancurkan ekosisten Pulau Rupat dan perairan di sekitarnya serta merugikan kehidupan nelayan melanggar Undang-undang nomor 27 tahun 2007 jo Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, khususnya pasal 35 huruf (i).
Dalam pasal undang-undang itu disebutkan, “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
Lebih lanjut, kata Parid, berdasarkan pasal 73 Undang-undang nomor 27 tahun 2007 jo UU nomor 1 tahun 2014 disebutkan, “Setiap orang yang sengaja melakukan aktivitas pertambangan pasir dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
Juga diketahui katanya, kalau aktivitas tambang pasir itu bukan satu-satunya ancaman terhadap Pulau Rupat. Sesuai analisis perizinan yang dilakukan pihak WALHI Riau memperlihatkan ada 61,7 persen daratan Pulau Rupat dikapling kepentingan korporasi. Paling tidak itu terdapat 7 perusahaan perkebunan dan kehutanan beraktivitas di Pulau Rupat. Kondisi ini, jelas tidak adil bagi 49.480 jiwa penduduk ataupun 14.175 kepala keluarga (KK) di Pulau Rupat. **Rul