DERAKPOST.COM – Tim Ahli Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI) ini bersama Tokoh Masyarakat Kampar Ramadhan S
Sos merilis temuanya yang mengejutkan mengenai skala perambahan hutan untuk membuka kebun kelapa sawit ilegal pada sebagian daerah Kabupaten Kampar.
Berdasar kajian dan pemetaan lapangan, diketahui bahwa luas kebun sawit tanpa izin ini didalam kawasan hutan mencapai 120.000 hektare yang tersebar di wilayah Gunung Sahilan, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri, dan Kampar Kiri Hulu. Diketahui pada daerah itu ada yang berbatasan langsung Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yaitu Kabupaten Pelalawan, Kuansing dan serta Provinsi Sumatera Barat.
Dikutip dari laman Wartarakyat. Mirisnya, kebun sawit ilegal tidak hanya menyerobot kawasan hutan produksi, namun ada juga masuk ke dalam kawasan penting. Seperti hal Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HPH), bahkan Hutan Konservasi (HK), hingganya Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa seharusnya itu bebas segala bentuk eksploitasi komersial.
Tim KOPARI pun mengungkap bahwa nilai kerugian negara akibat pembukaan kebun sawit ilegal tersebut mencapai total, yaitu Rp4.223.889.360.000 (lebih dari Rp4,2 triliun). Jumlah ini terdiri dari dua komponen utama, yakni denda administratif dan kerugian dari tidak disetorkannya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Perhitungan kerugian negara mengacu pada rumus resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di mana pendapatan bersih dari kebun sawit dihitung sebesar Rp24 juta per hektare per tahun. Dengan persentase tutupan hutan sebelum kegiatan sebesar 20 persen (kategori rendah), maka tarif denda administratif ditetapkan sebesar Rp4.800.000 per hektare per tahun. Jangka waktu pelanggaran yang diasumsikan selama 7 tahun. Maka total denda administratif menjadi:
* 120.000 Ha × 7 Tahun × Rp4.800.000 = Rp4.032.000.000.000 (Rp4,032 triliun)
* Sementara kerugian dari PNBP yang tidak disetorkan diperkirakan sebesar:
* 120.000 Ha × Rp1.599.078 = Rp191.889.360.000
Dengan demikian, total kerugian negara mencapai: Rp4.032.000.000.000 + Rp191.889.360.000 = Rp4.223.889.360.000
Dalam kesempatan itu, Tokoh masyarakat Kampar Ramadan inipun, menilai bahwasa perambahan ini bukannya lagi pelanggaran teknis, tetapi melainkan bentuk kejahatan lingkungan besar-besaran ini mengancam fungsi hutan, keberlanjutan ekosistem, dan keberadaan satwa langka di wilayah Suaka Margasatwa dan hutan konservasi.
Dia juga malah mengkritik keras minimnya dalam penegakan hukum terhadap perusak lingkungan dalam skala besar. “Ada itu juga anak perusahaan. korporasi besar, bahkan perorangan. Semuanya itu jelas membuka kebun di kawasan hutan, tapi tak satu pun diproses hukum. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan luar biasa. Ini buktinya, bahwa hukum lingkungan tak jelas,” ujarnya.
KOPARI menyatakan telah memegang data yang berbasis GIS, dokumen lapangan, dan foto udara, hingga nama-nama pihak yang diduga itu terlibat. Baik pemodal, pengelola lapangan, maupun halnya pelindung politik. Mereka ini, menyatakan siap menyerahkan data-data tersebut kepada aparat penegak hukum. KOPARI dan masyarakat menuntut agar Presiden RI, Menteri LHK, Kapolri, dan Jaksa Agung memerintahkanya investigasi menyeluruh terhadap kasus perambaan. (Hapiz)