PEKANBARU, Derakpost.com- Setakat ini, Pulau Rupat yang sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional mengalami penghancuran dan ketimpangan ekologi dari sisi darat dan laut. Hal itu sesuai pemaparan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) – Riau.
Penilaian dari WALHI ini menggambar bahwa Pulau Rupat telah dikuasai oleh segelintir perusahaan. Wilayah daratan pulau terdepan NKRI ini telah diklapling sejumlah pihak perusahaan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Sehingga ini menjadi ancaman kenyamanan.
“Rupat, dan pulau pulau kecil lainnya di pesisir Riau kini sudah menjadi sasaran perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi. Dihancurkan di darat dan dirusak di laut,” kata Even Sembiring dari Direktur Eksekutif WALHI Riau di diskusi pada hari Selasa (8/2/22) siang.
Pada momen itu selain pembicara dari WALHI Riau Even Sembiring, juga hadir menjadi pembicara itu Hj Azlaini Agus yang merupaka tokoh masyarakat Riau juga mantan anggota DPR RI dan serta mantan Ketua Ombudsman Riau.
Menurut Direktur WALHI Riau ini akrab disapa Boy menyebut, bahwa ada 61,7 persen daratan Pulau Rupat ini dikuasai oleh investor. Di darat, setidaknya ada 7 perusahaan besar di Riau yang bergerak di sektor kebun kayu (HTI), dan industri kebun sawit tersebut.
Di antaranya PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT Marita Makmur Jaya (MMJ), PT Sarpindo Graha Sawit Tani (SGST), PT Panca Citra Rupat (PCR), PT Bina Rupat Sepang Lestari (BRSL), PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP) dan satu perusahaan yang tak diketahui beroperasi di Teluk Lencah, Mesin, Hutan Panjang, Tanjung Kapal, Darul Aman dan Titi Akar.
“Selain masalah adanya ketimpangan penguasaan ruang di Pulau Rupat. Itu, sering terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla, penurunan muka tanah dan abrasi. Sementara masalah sosial yaitu konflik agraria yang disebabkan keberadaan korporasi ekstraktif,” kata Even lagi.
Pulau Rupat, imbuhnya, setelah dirusak di daratan, kini juga malah dihancurkan ekosistem laut dan juga pesisir dengan maraknya aktivitas penambangan pasir laut oleh PT Logomas Utama (PT LMU). Penambangan ini sudah dilakukan sejak 2021. Sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang. Ekosistem laut pun rusak akibat aktivitas tambang itu.
Sementara itu, ditempat yang sama ada disampaikan Hj Azlaini. Ia mengatakan, perizinan pasir laut itupun sudah ada di masa kepemimpinannya Gubernur Riau Saleh Djasit, SH. Setidaknya ada 11 izin yang dikeluarkan pemerintah diaaat itu, termasuk PT LMU. Namun saat itu ada terjadi monitoring. Aktifitas kegiatanyq penambangan dihentikan.
Tetapi kini, PT LMU memperbarui izin yang sudah ada itu. Namun dalam hal ini, Hj Azlaini berharap Gubernur Riau Syamsuar segera hentikan melakukan penambangan pasir laut itudi perairan Pulau Rupat. “Karena aktivitas ini jelas jelas merusak lingkungan, bertentangan dengan Program Riau Hijau digagas Pak Syamsuar, “ tutupnya. **Rul