DERAKPOST.COM – Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat di Riau menyimpan berbagai konflik agraria bagai ‘Bara Terpendam’ antara masyarakat perdesaan dan perusahaan sawit.
Konflik ini timbul dan semakin meluas karena praktek ‘rent seeking’ yang melibatkan birokrat, pengusaha dan politisi guna memonopoli keuntungan secara ilegal dengan memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki.
Bara konflik yang terjadi antara sekelompok besar masyarakat Okura yang menuntut kebun plasma seluas 20 persen dari luasan kebun PT. Surya Intisari Raya (PT.SIR) juga tidak terlepas dugaan adanya praktek ‘rent seeking’ di level birokrasi daerah hingga pusat.
Kenyataan pahit dari hubungan informal persekutukan tersebut bagaimana mengaburkan hak-hak masyarakat di sekitar perusahaan hingga membuatnya nyaris ‘hampa hak’ (rightless).
Konfirmasi kami dengan pejabat Kanwil BPN Provinsi Riau menyatakan jika syarat perpanjangan HGU PT.SIR sudah terpenuhi, dan sudah diteruskan ke pusat. Begitu juga hasil klarifikasi kami dengan pejabat Dinas Perkebunan Provinsi Riau dan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru yang menyikapi bahwa Perpanjangan Sertipikat HGU PT.SIR bukan wilayah tanggung jawab mereka.
“Perilaku kedua institusi ini menunjukan ketidakberpihakan birokrasi dengan tuntutan masyarakat sekitar perusahaan, yang kemudian disikapi masyarakat dengan turun ke jalan menyuarakan tuntutanya.”
MAYORITAS MASYARAKAT TUNTUT PLASMA 20 PERSEN
Sebanyak 442 KK dari 520 KK masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi Okura menuntut realisasi kebun plasma sebesar 20 persen dari luasan HGU PT.SIR. Jika tuntutan masyarakat ini tidak dipenuhi konsekuensinya masyarakat akan menolak perpanjangan sertipikat HGU PT.SIR.
Belakangan dua desa lagi yakni Maredan Barat dan Tualang yang berada di kabupaten Siak menyatakan bergabung dengan saudaranya di kelurahan Tebing Tinggi Okura yang akan menggelar unjukrasa ke Dinas Perkebunan provinsi Riau pasca unjukrasa ke Kanwil BPN provinsi Riau beberapa waktu lalu.
Dalam selebaran yang beredar, ribuan masyarakat tiga desa, Okura-Tualang dan Maredan Barat sepakat akan menggelar aksi unjukrasa ke Dinas Perkebunan Provinsi Riau yang rencananya digelar pada Rabu 27 September 2023 dengan agenda menuntut HGU 20 persen PT.SIR.
Tanpa diduga, sehari sebelum rencana aksi akan digelar agenda pun berubah menjadi rapat audiensi antara perwakilan tiga desa dengan kepala dinas Perkebunan Provinsi Riau dan jajarannya yang difasilitasi oleh Subdit Intelkam Polda Riau.
PASAL KONTRADIKTIF
Dalam rapat audiensi yang dipimpin langsung Kepala Dinas Perkebunan provinsi Riau Zulfadli, terungkap adanya ‘pasal karet’ yang sangat kontradiktif dengan tuntutan masyarakat soal pembangunan kebun plasma 20 persen dari luasan HGU PT.SIR.
Sepintas masyarakat merasa punya harapan dengan kemunculan Permentan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar. Namun tanpa mereka sadari masyarakat terjebak di Pasal 43 Permentan 18/2021 tersebut, bahwa kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan.
Hal ini diungkapkan Dr. Ir. Sri Ambar Kusumawati, M.Si Kabid Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Provinsi Riau pada saat menyanggah pendapat Ketua Pemuda Tebing Tinggi Okura, Deni Afriadi yang berkesimpulan bahwa hukumnya wajib melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perusahaan tanpa menyetakan ‘ekor kalajengking’ di Pasal 43 Permentan nomor 18 tahun 2021 tersebut.
“Coba dibaca seluruh isi Pasal 43 Permentan nomor 18 tahun 2021 tersebut, bahwa fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013,” ujar Sri Ambar.
Lanjutnya, “Nah kalau kita simak pada pasal 60 Permentan Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tersebut dinyatakan bahwa kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar ‘tidak berlaku’ untuk Perusahaan Perkebunan yang memperoleh izin usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007,” tegas Sri Ambar, Rabu (27/9/2023).
“Sementara IUP PT.SIR ini Tahun 2000, jadi tidak berlaku kewajiban itu, hanya diwajibkan melakukan kegiatan usaha produktif sesuai kondisi masyarakat setempat,” imbuhnya.
Ambar menilai perusahaan sudah ada itikad baik dengan membentuk koperasi membantu UKM setempat. “Dan dulu itu saat koperasi terbentuk juga sudah ada MoU dengan Lurah lama, pak Burhan,” tutur Ambar tanpa memperlihatkan berkas MoU tersebut.
Sementara, mantan Lurah Tebing Tinggi Okura, Burhan yang kami klarifikasi beberapa waktu lalu terkait isu MoU yang ditanda tangani bersama PT.SIR, Burhan bersumpah tak pernah melakukan itu, dan tak pernah menerima sepeser pun dari PT.SIR.
“Saya capek ditanyai wartawan terkait MoU yang saya sendiri tak pernah tau. Saya bersumpah tak pernah menanda tangani perjanjian dengan PT.SIR. Kita cuma diminta bangunkan koperasi, dan lebih jelasnya tanyakan kepada pak Sarbaini,” ungkap Burhan yang mengaku ingin tenang mengisi pensiun.
Dalam rapat audiensi tersebut, Kepala Dinas Perkebunan provinsi Riau, Zulfadli mengatakan bahwa pihaknya belum menerima berkas CPCL yang seharusnya ditanda-tangani kepala daerah yang dalam hal ini Walikota atau bupati.
“Semestinya siapa calon penerima dan calon lokasi (CPCL) dibuat oleh pihak kelurahan atau desa, yang selanjutnya di SK-kan oleh kepala daerahnya, dan kami belum menerima itu,” ungkap Zulfadli.
Zulfadli juga mengajak para perwakilan masyarakat tersebut untuk membicarakan lagi hal ini di ruang kerjanya sehabis rapat.
“Jadi nanti jangan pulang dulu, kita lanjutkan membahasnya di ruang kerja saya,” ajak Zulfadli dengan rayuan pulau kelapanya, dikutip dari riaueditor.
PERMENTAN ‘TERKOTOR’
Meski dikatakan menimbang bahwa dengan adanya perkembangan tuntutan pembangunan perkebunan, dan memperhatikan asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan tidak sesuai dan perlu ditinjau kembali;
Maka lahirlah Permentan pengganti Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Perkebunan yang kami nilai permentan ‘terkotor’ karena sarat kepentingan dan keberpihakan pada pengusaha perkebunan.
Tidak cuma diacak-acak, bahkan beberapa pasal di Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 juga telah dihapus oleh dua permentan lainnya, diantaranya Permentan Nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 Tentang Perubahan Atas Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang menghapus pasal 13, 14, dan 49, serta Permentan Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Begitu pula dengan pasal 60 dan pasal 61 yang terang-terangan menghapus kewajiban perusahaan tertentu dalam melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.
“Pasal 60 dan 61 ini patut diduga pasal ‘pesanan’ yang merugikan masyarakat di satu pihak dan melepaskan tanggung jawab perusahaan dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar.
Kotornya Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 dimulai pada pasal 15 yang menyelipkan kata ‘memfasilitasi’, padahal di pasal 11 angka (1) permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 dengan tegas memerintahkan “Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan” tanpa ada kata memfasilitasi atau fasilitasi yang maknanya jadi liar kemana-mana.
Bahwa tugas ‘memfasilitasi’ selama ini erat kaitannya dengan tugas pokok dan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik guna melayani rakyat.
Namun dengan licik ‘mafia regulasi’ mengaburkan kewajiban perusahaan membangun kebun masyarakat menjadi memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Demikian pula dengan pasal 60 dan 61 yang bahkan menghapus kewajiban PT.SIR memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat.
Diduga, hal ini kemudian yang melatar-belakangi oknum pejabat di lingkungan Dinas Perkebunan provinsi Riau lebih memilih bungkam di posisi aman dari konflik.
Pejabat demikian selalu gesit melayani perusahaan perkebunan yang nota bene pemberi ‘siraman’, namun alergi dan berusaha buang badan saat harus berhadapan dengan masyarakat lokal, walau setiap bulan ia mencicipi uang rakyat sejak SK PNS diterimanya.
Celakanya lagi, agar ‘siraman terus datang ‘berember-ember’ oknum mafia regulasi hingga detik ini tetap gigih mengunci Permentan Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan tetap berlaku, walau sepatutnya sudah tidak relevan dengan dinamika sejak terbitnya Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
SERUAN BASMI MAFIA REGULASI
Lahirnya pasal-pasal karet telah menjerat rakyat nyaris ‘Hampa Hak’ bukti nyata dugaan ‘mafia regulasi’ bersarang di Kementerian Pertanian RI, salah satunya Pasal 43 Bab IV Ketentuan Peralihan Permentan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar yang mengaitkan bunyi pasal tersebut dengan Permentan Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan.
Jika ditelisik pasal karet ini mirip pasal ‘jebakan’ yang meloloskan para mafia kelapa sawit dari kewajiban membangun kebun masyarakat di bumi yang mereka jaga sedari nenek moyang melayu sampai ke Riau.
Afiliasi ormas di Riau saat ini bersepakat menyerukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Aparat Penegak Hukum lainnya segera memberangus sarang mafia regulasi dan menyeret oknum-oknum penikmat praktek ‘rent seeking’ yang telah membungkam Pasal 33 angka (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. **Rul