Jaksa Agung RI Burhanuddin Tegaskan Soal Korupsi Dibawah Rp50 Juta

0 193

 

JAKARTA, Derakpost.com- Jaksa Agung RI Burhanuddin berbicara tentang kasus korupsi, dengan besar kerugian negara dibawah Rp 50 juta, apakah ini dipidana atau tidak. Ia mengatakan hukuman penjara tidak mutlak bagi koruptor kelas teri karena biaya penanganan kasus korupsi tidaklah sedikit.

Jaksa Agung menyampaikan bahwa terhadap tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp50 juta, kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama. Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.

“Misalkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp2,2 juta. Apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi?,” ujar Jaksa Agung saat menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Solusi Advokasi Institute dengan mengambil tema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu Dipenjara?” yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (8/3/22) dilansir suara.com.

Jaksa Agung mengatakan penanganan perkara tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku, sebagaimana ibarat peribahasa “besar pasak daripada tiang.”

“Meskipun maraknya kejahatan pungli itu sendiri tentunya sudah sangat meresahkan masyarakat dan dalam rangkaian panjang seringkali berdampak timbulnya biaya ekonomi tinggi pada sektor industri ataupun sektor produksi, namun demikian pemberantasannyapun sedapat mungkin juga tidak menimbulkan beban finansial pada keuangan negara,” ujar Jaksa Agung.

Terlebih semangat yang terkandung dalam rezim pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini adalah pemulihan atau penyelamatan keuangan negara seoptimal mungkin. Ketentuan lain yang perlu dicermati adalah keberlakuan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan yang mana setiap pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara efesien dan efektif.

“Dapat saudara bayangkan, perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terlebih daerah kepulauan yang mana proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara. Sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang hanya berskala relatif kecil, sehingga tidak sebanding antara biaya operasional yang dikeluarkan negara dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan. Dalam hal ini saya justru berpandangan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal,” ujar Jaksa Agung.

Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan dan bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Jaksa Agung mengatakan, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penangangan perkara yang dilakukan hanya berada di “level ikan teri” dan dianggap aparat penegak hukum tidak mampu untuk melawan para koruptor dalam skala big fish. Di samping itu, hal lain yang perlu dipahami adalah menyamakan kasus korupsi Rp50 juta dengan pencurian Rp5 juta.

“Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara. Pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku yaitu dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara, tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis karena negara justru rugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku hingga masuk ke penjara,” cakapnya.

Jika hal ini tetap dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder karena uang negara yang seharusnya dapat disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat, dapat terkuras habis hanya untuk perkara korupsi level “ikan teri”.

Jaksa Agung menyampaikan, untuk pencurian Rp5 juta yang merupakan tindak pidana umum korbannya adalah orang-perorangan. Uang tersebut bisa jadi adalah uang yang sangat banyak bagi banyak orang. Kehilangan uang tersebut dapat membuat korban tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan bahkan tidak dapat membeli makanan,” katanya.

Rasa kehilangan dan kepedihan yang dirasakan oleh korban ini dapat ditangkap dan dirasakan oleh negara, sehingga negara dapat menghukum pelaku pencurian dengan hukuman yang berat dan setimpal, sepanjang korban tidak memaafkan perbuatan pelaku tersebut.

“Saya menyadari jika pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah dilakukan di semua lini dan lapisan masyarakat. Namun yang perlu dicatat adalah banyak cara untuk memberantasnya. Para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil, tetap akan kita berikan hukuman yang setimpal,” ujar Burhanuddin.

Jaksa Agung menyampaikan, penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraan yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir. Penerapan asas ultimum remedium dalam beberapa kasus atau delik tertentu sekiranya masih sangat relevan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang. Kita juga dapat memberikan rekomendasi kepada para stake holder terkait untuk memberikan sanksi administrasi kepegawaian, misalnya penundaan pangkat hingga kepemecatan.

“Di samping itu, bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara. Sekali lagi saya menegaskan bahwa sebagai aparat penegak hukum kita harus bertindak secara cermat dalam mendudukan setiap jenis perkara dan tepat dalam memberikan bobot hukuman,” ujar Jaksa Agung. **Rul

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.