DERAKPOST.COM – Sebagaimana hal yang telah diberitakan sebelumnya oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di Provinsi Riau. Khususnya didaerah Satgas PKH telah ada menancapkan plang penguasaanya kembali di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) seluas 81 ribu hektare lebih di Pelalawan.
Pemasangan plang ini merupakan langkah awal Satgas PKH dalam hal mengamankan kembali hutan negara gencar dilakukan itu, sejak Maret lalu. Sebelumnya, pada Selasa (10/6/2025) lalu, Satgas PKH ini melakukan operasi penguasaan kembali TNTN. Dengan nantinya ini akan dilakukan relokasi massal penduduk dan reforestasi. Seperti hal yang akan diterapkan di TNTN.
Sehingga nasib ribuan penggarap di TNTN kian tak jelas. Dari diwartakan sebelumnya, ribuan warga menyambut kedatangan Tim Satgas PKH ke Dusun Toro Jaya, berada di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan pada Selasa (10/6/2025). Kedatangan Satgas PKH untuk melakukan pemasangan plang penguasaan kembali kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang selama belasan tahun telah hancur disulap jadi perkebunan kelapa sawit ilegal.
Kedatangan Tim Satgas PKH, ke kawasan TNTN yang telah dinantikan warga selama berjam-jam, sejak pagi. Mereka menunggu rombongan dari Jakarta tiba menggunakan helikopter, setelah juga transit lebih dulu di Lanud Rusmin Nurjadin, Pekanbaru. Tetapi, warga ini kecewa karena tidak bisa bertemu langsung dengan pimpinan Satgas PKH.
Apalagi, sempat muncul kabar bahwa Ketua Pengarah Satgas PKH yakni Menteri Pertahanan, Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsuddin dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni akan ikut dalam kunjungan lapangan ke TNTN. Namun faktanya, tak ada seorang pun pejabat setingkat menteri yang hadir ke lokasi.
“Percuma saja datang dari Jakarta. Tapi kami pun tak bisa mengetahui nasib kami. Nasib kami menjadi tak jelas, apalagi kami diminta pindah (relokasi) dari sini,” ungkap Ardi, warga setempat. Meskipun tidak bisa bertemu langsung dengan pimpinan Satgas PKH, namun masyarakat sempat berdialog singkat dengan Wakil Komandan Satgas PKH, Brigjend TNI Dody Triwinarto. Tapi ini, warga mengaku tak puas karena tidak ada keputusan yang bisa disepakati.
Kedatangan Tim Satgas PKH ke TNTN ini menjadi sorotan utama. Alasannya, karena tindakan yang dilakukan oleh Satgas PKH akan menentukan masa depan TNTN yang kadung hancur lebur bersalin rupa menjadi kebun sawit. Pada sisi lain itukan ada juga ribuan warga yang sudah bermukim serta mengelola kebun sawit di TNTN.
Temukan Indikasi Korupsi di Perambahan TNTN
Sebelumnya diwartakan, Jaksa Agung, ST Burhanuddin mengungkap adanya dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat dalam praktik perambahan liar di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Temuan itu diperoleh setelah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melakukan penguasaan kembali areal TNTN di Riau pada Selasa (10/6/2025) lalu.
ST Burhanuddin menyatakan, Satgas PKH juga menemukan dugaan adanya penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu di kawasan TNTN. “Serta dugaan tindak pidana korupsi oleh oknum aparat,” jelas Burhanuddin dalam rapat Satgas PKH di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta pada Jumat (13/6/2025).
ST Burhanuddin menerangkan, dari temuan Satgas PKH, bahwa sisa hutan konservasi TNTN saat ini hanya tinggal sekitar 12.561 hektare, dari luasan awal mencapai 81.793 hektare. Kondisi tersebut disebabkan oleh aksi perambahan itu masif ilegal, terutama pembukaan kebun kelapa sawit tanpa izin.
Dia mengungkap kompleksitas masalah di TNTN. Banyak masyarakat yang bermukim di TNTN telah membangun sekolah hingga tempat ibadah. “Ini telah terbangun sarana dan prasarana pemerintah. Seperti listrik, sekolah, serta tempat ibadah pada dalam kawasan hutan TNTN,” ucap Burhanuddin. Dampak dalam perambahan liar tersebut juga, terangnya, menimbulkan konflik antara satwa langka dilindungi antara lain gajah dan harimau dengan masyarakat.
Dikarena itu, ST Burhanuddin menekankan perlunya pemikiran yang sama untuk bisa mencari solusi masalah TNTN. Pemerintah ini ingin memastikan penguasaan kembali TNTN serta relokasi warga dapat berjalan tanpa hambatan. Sebutnya, permasalahan TNTN ini tidak hanya isu lingkungan hidup, tetapi juga malah mencakup permasalahan ekonomi dan sosial masyarakat.
Ia mengingatkan agar seluruh pihak dapat melaksanakan hasil pada rapat ini dengan sebaik-baiknya. “Laksanakan ini hasil rapat dengan penuh rasa tanggung jawab, serta menjaga hal integritas dan profesionalitas dalam setiap pelaksanaan tugas,” ujarnya.
Relokasi Penduduk di TNTN Hingga Agustus 2025
Sebelumnya diwartakan, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah menerbitkan pengumuman resmi terkait masa depan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau. Satgas PKH menyatakan warga yang tinggal di kawasan TNTN untuk segera melakukan relokasi secara mandiri.
Pengumuman Satgas PKH tersebut tertera dalam spanduk yang terpasang di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan yang berada dalam kawasan TNTN. Lokasi pemasangan spanduk pengumuman akan dikunjungi oleh Tim Pengarah Satgas PKH pada Selasa (10/6/2025).
Ada lima poin utama pengumuman resmi yang disampaikan Satgas PKH. Yakni, Satgas PKH menegaskan bahwa hutan konservasi TNTN merupakan tanah negara.
“Hutan konservasi TNTN adalah tanah negara. Oleh karena itu, segala aktivitas di dalam kawasan hutan ini seperti tinggal, berkebun, mendirikan rumah dan membakar atau bentuk kegiatan lain yang mengubah fungsi hutan dinyatakan melanggar hukum,” demikian pengumuman Satgas PKH.
Satgas juga mengumumkan segera dilakukannya relokasi (pindah) secara mandiri kepada masyarakat. Relokasi mandiri ini akan didampingi petugas. Adapun periode pelaksanaan relokasi mandiri dilakukan dalam waktu 3 bulan sejak 22 Mei hingga 22 Agustus 2025.
“Teknis dan tahapan relokasi mandiri diatur oleh Tim Terpadu Penertiban Kawasan Hutan dan disosialisasikan kepada masyarakat,” demikian pengumuman Satgas PKH.
Terkait nasib kebun kelapa sawit yang terbangun di kawasan TNTN, menurut Satgas PKH, pemerintah memahami ketergantungan sebagian masyarakat akan kebun sawit tersebut. Oleh karena itu, Satgas PKH mengambil kebijakan sementara, yakni:
1. Kebun sawit yang berumur lebih dari 5 tahun dan sudah menghasilkan, boleh dipanen sementara 3 bulan. Namun tidak boleh menanam, memperluas, dan memelihara tanaman seperti pemupukan dan prunning dan lainnya.
2. Tanaman sawit yang ditanam dalam lima tahun terakhir, dianggap perambahan baru dan melanggar hukum. Kebun akan ditertibkan dan dimusnahkan kemudian diganti dengan tanaman hutan oleh pemerintah.
Dalam hal ini, Satgas PKH kembali menegaskan agar setiap orang dilarang keras membuka dan memperluas kebun di TNTN. Bagi pihak yang melanggarnya akan dijerat secara pidana.
Satgas PKH juga mengumumkan larangan untuk keluar masuk ke kawasan TNTN. Bagi masyarakat yang beraktivitas diwajibkan melapor terlebih dahulu kepada petugas di posko.
TNTN Dihutankan Kembali
Langkah tegas akan diambil pemerintah untuk memulihkan kembali kondisi TNTN di Riau yang kadung rusak akibat perambahan liar. Kehancuran TNTN sudah pada kondisi kritis karena pembukaan kebun kelapa sawit secara ugal-ugalan dan ilegal dibiarkan selama belasan tahun. TNTN direvitalisasi dengan cara menghutankannya kembali.
Hal itu, Sekretaris Satgas PKH Sutikno menerangkan, dari 81 ribu hektare kawasan hutan TNTN, saat ini cuma tersisa sekitar 12-an ribu hektare. Padahal, hutan itu milik negara, namun dikuasai kelompok tertentu dan masyarakat. “Selama ini, hal TNTN itu dijarah oleh orang dan perusahaan tertentu. Makanya itu yang harus kita keluarkan itu. Dari 81-an ribuan hektare, sekarang tinggal 12-an ribu hektare. Itu yang akan dikuasai kembali untuk dikembalikan ke negara semuanya,” ujar Sutikno di Jakarta, Senin (9/6/2025).
Satgas PKH saat ini, katanya, masih terus melakukan hal pendataan tentang cakupan penguasaan ilegal perkebunan kelapa sawit yang ‘memakan’ lahan milik negara itu, jadi lahan perkebunan kelapa sawit. Menurut Sutikno, hal kawasan hutan di Tesso Nelo bukan cuma milik negara sebagai taman nasional, melainkan juga sebagai paru-paru dunia.
Sejumlah pihak menyebut kedatangan Tim Satgas PKH ke TNTN itu sebagai simbol dimulainya genderang ‘perang’ terhadap para cukong yang membuka perkebunan kelapa sawit di TNTN. Cukong dimaksud yakni para pemodal yang membuka kebun sawit di TNTN dalam area yang luas, tidak sekadar petani rakyat. Para cukong bayar menggarap TNTN dalam luasan mencapai ratusan hektare, secara ilegal dan itu tidak membayar kewajiban pajak.
Diketahui, bahwa TNTN merupakan hutan konservasi dengan tingkat kerusakan kini terparah di Indonesia. Keberadaan TNTN menjadi sorotan dunia di tengah kampanye pemerintah itu mengklaim peduli terhadap deforestasi hutan, namun hal di lapangan justru tak sesuai. Dari total luasan TNTN sekitar 81,7 ribu hektare lebih, seluas 40,4 hektare lebih sudah menjadi kebun sawit.
Data terkini, luas hutan tersisa di TNTN itu hanya sekitar 13,7 ribu lebih. Yang artinya, lebih 65 ribu hektare lebih kawasan hutan di TNTN, yang terindikasi telah mengalami kerusakan. Penggarapan secara ilegal dan massif TNTN dilakukan individu maupun kelompok masyarakat, termasuk ada kaki tangan korporasi. Hasil kebun sawit dari TNTN ditampung sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan besar, namun tidak pernah mendapat tindakan hukum.
Gugatan Yayasan Riau Madani dua tahun lalu mengungkap adanya perkebunan sawit seluas 1.200 hektare di kawasan TNTN, diduga terafiliasi dengan korporasi sawit PT Inti Indosawit Subur. Namun, pihak perusahaan membantah keras disebut sebagai pengelola kebun sawit tersebut.
Ironisnya, meski gugatan Yayasan Riau Madani tersebut telah inkrah yaitu sejak beberapa tahun lalu, namun aneh pihak Kementerian Kehutanan saat dijabat oleh Menteri Siti Nurbaya, berlanjut pada era kepemimpinan Raja Juli Antoni, tak kunjung mengeksekusi putusan. Hingga kini, kebun sawit tersebut masih bebas beraktivitas.
Beragam upaya penyelamatan TNTN kerap gagal. Pada tahun 2016 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya membentuk Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Namun, hingga kini tak jelas apa hasil dan capaian RETN tersebut.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat menjadikan TNTN sebagai sampel dalam agenda Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) pada 2015 lalu. Namun, GNPSDA ini tak pernah lagi terdengar gebrakannya.
Ragam kepentingan yang berkait kelindan menyebabkan upaya penyelamatan TNTN selalu gagal. Penegakan hukum dilakukan terkesan setengah hati. Hal ini menjadi tantangan serius bagi Satgas PKH untuk menunjukkan kedaulatan negara hadir di TNTN. (Dairul)