DERAKPOST.COM – Bank Dunia atau World Bank kembali menyampaikan kabar buruk. Dunia dikabarkan tengah bergerak menuju resesi pada 2023.
Hal ini dipicu oleh kenaikan suku bunga global dilakukan secara agresif dalam rangka menjinakkan laju inflasi. “Tiga ekonomi terbesar dunia yaitu Amerika Serikat, China, serta kawasan Eropa- telah melambat tajam,” tulisnya dalam sebuah studi baru.
Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah ini tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.
Dikutip dari CNBC Indonesia. Lembaga internasional inipun, mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan yakni 2 poin persentase meredam inflasi. Sebutnya,
tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikanya 2 poin yang terlihat atas rata-rata tahun 2021.
Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi perlambat hal pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global. Ini pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%. Ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global. Jika dari badai resesi datang, apa yang harus dipersiapkan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan bahwa laporan Bank Dunia bukan sekedar ramalan. Bahkan, pelaku pasar sudah sepakat bahwa akan terjadi perlambatan ekonomi global pada 2023 akibat kombinasi dari perang, gangguan rantai pasok, hiperinflasi, stagflasi dan krisis biaya hidup akibat naiknya harga pangan.
Tanda-tanda tersebut jelas tampak pada ekonomi Amerika Serikat (AS) yang melambat pada kuartal II. “Pertumbuhan ekonomi AS yang negatif menjadi sinyal adanya perlambatan di negara maju,” ujarnya.
Sementara itu, Eropa juga masih alami tekanan cukup dalam dari krisis energi dan pangan. Menurutnya, di Indonesia akan terdampak perlambatan ini. Yang terutama dari hal sisi perdagangan. Dia menyebut, kalau terjadi resesi secara global, surplus perdagangan selama ini dibangga-banggakan itu bisa berubah jadi defisit perdagangan.
Hal ini harus diantisipasi karena akan mengurangi pendapatan masyarakat. Dia menilai masyarakat yang rentan miskin di Indonesia cukup besar dan itu yang paling terdampak jika gejolak terjadi sehingga kelompok ini juga harus diberikan perlindungan sosial.
Selanjutnya, tingkat suku bunga global akan tinggi sekali dan memicu pelarian dari negara berkembang. “Makanya kita harus mempersiapkan protokol krisis. Kesiapan dari perbankan sehingga tidak menjalar kasus-kasus gagal bayar seperti tahun 98 dan 2008. Itu yang harus diantisipasi,” tegas Bhima.
Kemudian, pelaku usaha UMKM yang selama ini menjadi bantalan mempertahankan perekonomian harus terus didukung pemerintah melalui pembiayaan murah dan bantuan modal langsung, pendampingan dan upaya mendorong UMKM lebih cepat masuk ke ekosistem digital. **Rul