Banyak yang Laporan Pakai UU ITE Bungkam Insan Pers, Henri Subiakto: Harusnya Direvisi

0 147

DERAKPOST.COM – Prof Henri Subiakto selaku Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menegaskan bahwasa Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupa konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital itu melahirkan bentuk-bentuk komunikasi baru di masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Prof. Henri dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat secara daring melalui platform Zoom Meeting, Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan beragam aktivitas berbasis internet yang menimbulkan perbuatan hukum baru sehingga membutuhkan dasar pengaturan. “Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof. Henri.

Ia memaparkan, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) mencapai lebih dari 224 juta akun aktif. Dengan jumlah tersebut, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di Indonesia.

Namun, dia menyoroti bahwa penerapan UU ITE kerap menimbulkan persoalan, terutama ketika digunakan untuk menjerat karya jurnalistik maupun opini publik yang disampaikan melalui media. “Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering ada salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa di era digital saat ini, media baru seperti podcast dan media daring berkembang pesat karena kemudahan akses serta rendahnya biaya produksi. Katanya, podcast itu menarik yang karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga tentu lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa media baru tetap harus memegang prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta dan menjaga objektivitas pemberitaan. “Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” tuturnya.

Ia juga menyoroti masih maraknya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis dilaporkan menggunakan UU ITE, terutama diketika karya jurnalistik menyinggung isu sensitif seperti korupsi atau kritik-kritik terhadap pejabat publik. Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan.

Menutup paparannya, ia mendorong SMSI untuk berperan aktif didalam perjuangkan revisi UU ITE itu agar penerapannya tidak mengekang kebebasan dari pers maupun kebebasan berpendapat. “SMSI juga perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tapi tetap kedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” tegasnya.  (Rilis)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.