DERAKPOST.COM – Permasalahan relokasi warga berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), masih terjadi. Maka itu Ketua Pusat Hukum, dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali. Ia angkat bicara terkait upaya relokasi warga dari kawasan TNTN oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam hal ini, ia menilai bahwa pemerintah seharusnya melakukan rasionalisasi atau yakni pemangkasan areal izin perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di sekitaran TNTN itu, untuk dijadikan areal konservasi gajah, ketimbang menggusur masyarakat. Karena hal demikian, merupakan langkah lebih efektif
Menurut Ahmad Zazali, sejarah mencatat bahwasa bentang alam Tesso Nilo seluas 337 ribu hektar merupa wilayah perbatinan sejak Kerajaan Pelalawan tahun 1792 -an. Masyarakat dan pemukiman ini telah ada jauh sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai NKRI pada 1946, maupun sebagai kawasan hutan (TGHK) pada 1986.
“Jadi, kurang tepat kalau Kemenhut serta Satgas PKH menuduh masyarakat sebagai perambah kawasan TNTN. Yang dikarena, masyarakat itu membuka kebun sebelum adanya kawasan hutan TNTN ditetapkan/dikukuhkan,” tegas Ahmad Zazali, dalam keterangan tertulis diterima media ini.
Zazali memaparkan bahwa tumpang tindih lahan ini semakin rumit karena saat usulan perluasan TNTN (Tahap II) tahun 2009 diajukan, sudah terdapat lebih dari 19 ribu hektar kebun masyarakat. Namun, saat proses tata batas hingga penetapan di tahun 2014, pemerintah dianggap tak mempedulikan hak-hak pihak ketiga atau masyarakat yang telah ada sebelumnya.
Ia juga menyoroti adanya dugaan motif di balik percepatan relokasi ini yang berkaitan dengan proyek karbon dalam skema FOLU Net Sink 2030, yang membuat keresahan masyarakat semakin memuncak. ‘Dimana Tim FOLU Net Sink ini sempat jadi polemik ketika awal dari masa jabatan Menhut Raja Juliantoni,” kata dia.
Ahmad Zazali juga menyayangkan sikap pemerintah pada saat proses tata batas tidak mendahului penyelesaian hak-hak pihak ketiga, padahal saat itukan terdapat puluhan ribu hektar kebun masyarakat yang eksis di dalam areal yang ditunjuk. Kondisi ini menunjukkan adanya pengabaian hak asasi manusia dan sejarah ruang yang dilakukan secara sistematis oleh otoritas kehutanan.
“Artinya keberadaan masy dalam TNTN jauh lebih dulu dari keberadaan TNTN atau masyarakat sudah ada duluan dari dibandingkan TNTN, dan pembukaan lahan oleh masyarakat yang datang dilakukan atas dasar hibah dan hak kelola yang diberikan batin,” jelasnya.
Sebagai solusi konkret, Ahmad Zazali menyarankan Menhut Raja Juli Antoni dan Satgas PKH untuk segera membuka ruang dialog melalui mediator independen serta menghentikan opsi relokasi paksa.
Merujuk pada hasil penelitian WWF pada tahun 2000-an, dia menyebut, ditemukan 5 kantong gajah di Riau, salah satunya berada di lanskap Tesso Nilo yang luasnya mencapai 337 ribu hektar, namun hanya 81 ribu hektar yang dijadikan TNTN. “Yang sisanya dikuasai izin-izin perusahaan HTI dan perkebunan sawit,” ujarnya.
Ia mendesak pemerintah untuk mengambil kembali sebagian lahan konsesi perusahaan tersebut guna memulihkan habitat gajah sekaligus melibatkan masyarakat dalam kegiatan reforestasi.
“Libatkan masyarakat untuk memulihkan kantong gajah melalui kegiatan reforestasi di areal yang diambil dari lahan izin perusahaan tersebut,” tuturnya. Langkah ini dianggap jauh lebih adil dan efektif dalam menjaga kelestarian alam tanpa mencabut akar sosial masyarakat lokal.
Ia meminta pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dan hasil rapat gabungan Komisi XIII DPR RI untuk memastikan kepastian hukum yang berkeadilan bagi warga Tesso Nilo.
Menurutnya, dengan memangkas konsesi korporasi, pemerintah dinilai akan menunjukkan keberpihakan yang nyata pada perlindungan satwa sekaligus penghormatan terhadap hak ulayat masyarakat.
Sebelumnya, Menhut Raja Juli Antoni memulai proses relokasi warga yang bermukim di kawasan TNTN, Riau. Sebanyak 228 kepala keluarga (KK) direlokasi ke kawasan perhutanan sosial dengan total luasan mencapai 635,83 hektare. Yakni wilayah Desa Bagan Limau, Kabupaten Pelalawan, dengan target penataan kawasan seluas 2.569 hektare
Menhut Raja Antoni menegaskan dipindahkannya masyarakat dari wilayah Taman Nasional ini bukan sebagai bentuk permusuhan. Melainkan justru memberikan kepastian hukum atas hak masyarakat secara pasti dengan cara yang damai hingga dialog.
“Ini bukan hari tanda permusuhan karena bapak ibu sekalian digusur dari Taman Nasional, tapi hari bahagia karena dengan cara damai, persuasif, dialog bersama bapak ibu sudah memiliki kepastian hukum untuk mengelola kebun sawit baru di luar Taman Nasional Tesso Nilo. Saat ini masih dalam bentuk SK Hutan Kemasyarakatan karena awalnya relokasi PBPH HTI, supaya prosesnya cepat saya pakai Hkm,” ujar Menhut Raja Antoni di Desa Bagan Limau, Sabtu, 20 Desember 2025.
Sebagai lahan pengganti, pemerintah menyiapkan area eks PT PSJ di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan seluas 234,51 hektare, serta kawasan eks PTPN di Desa Batu Rizal, Kabupaten Indragiri Hulu dan Desa Pesikaian, Kabupaten Kuantan Singingi, dengan total luasan 647,61 hektare. Kelompok masyarakat penerima Surat Keputusan (SK) Hijau di kawasan eks PT PSJ adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Gondai Prima Sejahtera dengan jumlah 47 KK. Sementara di kawasan eks PTPN, penerima SK Hijau meliputi KTH Mitra Jaya Lestari sebanyak 109 KK dan KTH Mitra Jaya Mandiri sebanyak 72 KK.
Menhut menyebut saat ini masyarakat diberikan SK Hutan Kemasyarakatan dibawah Kementerian Kehutanan. Nantinya dalam proses yang berjalan Masyarakat akan mendapatkan TORA dibawah Kementerian ATR/BPN.
“Kita jadikan TORA, sehingga bapak ibu, punya sertifikat yang akan dipastikan pemberiannya oleh Wamen ATR/BPN,” tuturnya. Sebagai bentuk komitmen jangka panjang, Kemenhut mengalokasikan sekitar 74 ribu bibit pohon untuk seluruh kawasan TNTN. (Rilis)