Aktivitas Reklamasi Berskala Besar di Kawasan Mangrove Tanjung Piayu Mulai Hancurkan Belasan Hektare Hutan
DERAKPOST.COM – Diketahui sekarang ini, aktivitas reklamasi skala besar di kawasan mangrove Tanjung Piayu, di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Kepulauan Riau. Hal ini menimbulkan kerusakan lingkungan serius dan merugikan masyarakat pesisir. Dimana dua lokasi reklamasi itu juga teridentifikasi merusak ekosistem mangrove, selama ini menjadi penyangga kehidupannya nelayan setempat.
Pantauan lapangan di kawasan Piayu Laut menunjukkan adanya reklamasi dilakukan perusahaan properti perumahan. Aktivitas penimbunan menyebabkan hutan bakau di lokasi tersebut habis dan rusak total. Yang dikutip dari laman Batamnews.
Dari pengamatan di lapangan, terlihat jelas jalur yang digunakan untuk menimbun area bakau, di mana material tanah diambil dari area depan lokasi reklamasi. Kondisi hutan itu telah dikeruk untuk keperluan reklamasi juga tampak nyata, dan menunjukkan skala kerusakan yang masif.
Selain reklamasi, terlihat dari jalan utama, terdapat pula aktivitas reklamasi lain yang tidak terlihat dari atas jalan, ini berdampak signifikan warga dan nelayan setempat. Ini sempat menjadi perhatian Komisi I DPRD Kota Batam, melakukan sidak pada Rabu, 12 November 2025, untuk meninjau lokasi penimbunan hutan bakau yang berada di Kampung Setengar, Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk.
Penimbunan lahan di Kampung Setengar tersebut dilakukan oleh PT Ginoski, yang telah meratakan belasan hektare lahan bakau yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga.
Temuan lapangan yang diverifikasi oleh Akar Bhumi Indonesia pada Sabtu, 15 November 2025, pada titik koordinat 0°59’30.1″N 104°04’55.2″E, menunjukkan adanya penimbunan mangrove, penghilangan dua alur sungai estuari, serta pematangan lahan berskala besar yang diduga kuat tidak disertai izin lingkungan maupun prosedur pengelolaan dampak yang sesuai ketentuan.
Adapun lokasi kegiatan berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Sei Beduk II dan ditakutkan akan merambah ke kawasan hutan. Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyebutkan bahwa hasil verifikasi lapangan menunjukkan sekitar 2-3 hektare ekosistem mangrove telah ditimbun, sementara pematangan dan perataan lahan mencapai 8-10 hektare.
“Dua alur sungai estuari, yaitu Sungai Sabi dan Sungai Perbat, telah tertutup akibat penimbunan. Penghilangan alur sungai merupakan pelanggaran serius karena mengubah bentang alam, memutus aliran air, dan meningkatkan kerusakan bio-ekologis yang berdampak langsung pada masyarakat pesisir,” jelas Hendrik.
Dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan sejumlah regulasi, antara lain:
* Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
* Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
” Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
* PP 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Akar Bhumi Indonesia menyoroti bahwa aktivitas reklamasi terjadi pada masa transisi kewenangan yang diatur dalam PP 25 Tahun 2025 dan PP 28 Tahun 2025, sehingga perlu diawasi ketat agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan ekspansi yang merusak lingkungan.
Masyarakat Kampung Setengar diketahui bergantung pada jalur tangkap tradisional mengeluhkan turun hasil tangkapan akibat air keruh, pendangkalan kelong, rusaknya habitat ikan, kepiting, dan udang. Sejumlah warga menyebut perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi, tidak menyediakan mekanisme kompensasi yang jelas, dan hanya memberikan janji tanpa realisasi.
Nelayan lainnya, Jaelani ini mengatakan bahwasa pendapatan mereka merosot drastis. “Sekarang telah sering kali hasil tangkapan tak cukup dijual, hanya cukup untuk lauk makan,” ujarnya. Putra pemuda asli Kampung Setengar berusia 21 tahun, menyampaikan bahwa penimbunan sungai itu telah memperparah pendangkalan dan merusak mata pencaharian warga.
Katanya, masyarakat ini sangat terdampak. Kelong itu banyak yang tak bisa digunakan lagi karena sungai ditimbun. Jikalau hujan dua atau tiga hari saja, air jadi lumpur dan ikan hilang. Sekitar 12 kelong terdampak langsung. Putra juga menjelaskan bahwa perusahaan sempat memberi kompensasi awal, tetapi hal jumlahnya kecil dan tidak mencerminkan kerugian masyarakat.
“Ada kompensasi awal sebesar Rp6 juta yang dibagi ke 14 KK nelayan, tapi setelah itu tak ada lagi penyelesaian. Sosialisasi pun tidak jelas. Kami juga belum melihat dokumen resmi perusahaan,” sebutnya. Ia menambahkan bahwa kerusakan meluas hingga ke area padang lamun dan terumbu karang, yang selama ini menjadi habitat ikan.
Sementara itu, lainya disampaikan Pegiat mangrove, Yadi, juga merupakan Ketua perkumpulan Rumpun Bakau Indah, turut menyesali kejadian tersebut. Ia menyebut, lokasi itu ada lamun dan karang. Diketahui penimbunan membuat laut rusak. Padahal karang itu tempat ikan berkembang.
“Kami ini sudah menanam mangrove sejak 2022 melalui program BRGM. Sekarang ini semua terganggu karena sedimentasi dari penimbunan. Lumpur mengalir ke laut dan merusak area tanam. Kami hanya meminta agar mangrove ditimbun dikembalikan dan direhabilitasi,” tegasnya. Yadi menegaskan bahwasa penimbunan ternyata memasuki kawasan hutan lindung, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas. (Afrizal)