Sengketa Lahan Masyarakat Desa dengan Perusahaan, Camat di Inhil Diduga Terlibat

0 402

DERAKPOSTCOM – Permasalahan atau ada polemik penguasaan lahan desa oleh pihak perusahaan kembali mencuat. Kali ini, yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).

Polemik penguasaan lahan yang mencuat di Negeri Hamparan Kelapa Dunia, hal yang menimbul tanda tanya besar sejauh mana peran aparatur pemerintah, didalam hal ini pemerintah kecamatan serta kepala desa mengawasi wilayah administratifnya. Hal dugaan kuat muncul bahwa camat daerah setempat turut merestui perusahaan untuk menggarap lahan desa, bahkan sebagian lahan milik masyarakat ikut diserobot.

Rosmely merupa Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Inhil, menyatakan, fakta di lapangan menunjukkan banyak lahan di desa yang ditemukan telah dikuasai pihak perusahaan dengan dalih telah ada punya persetujuanya dari pemerintah kecamatan dan desa.

Rosmeli, meungkapkan bahwa di lapangan banyak ditemukan lahan desa yang sudah dikuasai perusahaan. Tentu jadi fenomena yang menimbulkan pertanyaan besar akan sejauh mana peranan aparatur pemerintah, terutama pemerintah kecamatan, dan juga kepala desa setempat dalam mengawasi wilayah administratifnya.

“Ironisnya, camat itu sering hanya menjadi stempel. Diantara lain hal penandatangani berkas tanpa adanya melakukan verifikasi mendalam,” ujarnya. Menurutnya, bahwasa sikap yang seperti demikian, tentu sangat berbahaya dikarena camat bukan sekadar pejabat administratif, tetapi juga memiliki tanggung jawab pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.

“Kalau camat bersembunyi di balik alasan bahwasa dokumen sudah ditandatangani kepala desa. Maka ia sebenarnya sedang melanggengkan didalam penyalahgunaan kewenangan, bahkan membuka ruang bagi perusahaan bisa menguasai tanah rakyat,” tegas Rosmeli.

Secara hukum, lanjutnya, camat memiliki kedudukan strategis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 226 ayat (1), yang menegaskan bahwa camat menyelenggarakan kewenangan pemerintahan umum, termasuk pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan desa.

Hal serupa juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 26 ayat (4) huruf c, yang mewajibkan camat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.

“Artinya, alasan camat ‘hanya ikut alur’ tidak dapat dibenarkan. Ia bisa dijerat karena lalai melaksanakan kewajiban pengawasan sebagaimana diamanatkan undang-undang,” ujarnya dikutip dari laman Haluanriau.com.

Rosmeli menjelaskan, jika camat dengan sengaja atau lalai membiarkan lahan desa dikuasai perusahaan tanpa mekanisme sah, maka ia bisa dijerat dengan sejumlah peraturan hukum, di antaranya:

UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Pasal 17 ayat (2) huruf c: Pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang dengan bertindak sewenang-wenang.

Pasal 21: Keputusan administrasi yang lahir dari penyalahgunaan wewenang dapat dibatalkan.

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 3: Pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana penjara seumur hidup atau 1–20 tahun.

KUHP Pasal 421

Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk menguntungkan pihak tertentu dapat dipidana.

“Dengan dasar hukum tersebut, jelas bahwa camat yang sekadar menandatangani tanpa turun ke lapangan bukan hanya abai, tapi juga membuka peluang terjadinya korupsi dan pelanggaran administrasi,” papar Rosmeli, yang juga mahasiswa Fakultas Hukum UNISI.

Lebih lanjut ia menyoroti adanya dugaan keterlibatan oknum camat dalam kerja sama antara perusahaan dan kelompok tani atau koperasi, meski mengetahui lahan tersebut dalam sengketa.

“Lemahnya pengawasan camat atas lahan desa adalah bentuk kegagalan fungsi pengendalian di tingkat kecamatan. Masyarakat menunggu hadirnya pemimpin yang berani menolak praktik manipulasi lahan,” ujarnya.

Rosmeli menegaskan, camat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga tanah desa dari cengkeraman perusahaan.

“Jika pembiaran terus terjadi, maka camat sama saja bersekongkol dengan perampasan tanah rakyat. Sudah saatnya aparat penegak hukum menyoroti bukan hanya perusahaan dan kepala desa, tapi juga camat yang lalai, karena kelalaiannya berpotensi menjadi pintu masuk tindak pidana,” pungkasnya. (Dairul)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.