Mahal Seragam Sekolah, Orang Tua Ekonomi Lemah Pasrah Bayar Rp 1,2 Juta Daripada Anak Kena Diskriminasi
DERAKPOST.COM – Tahun ajaran baru bagi orang tua siswa seyogyanya dapat menjadi momen membahagiakan, karena anak bisa bersekolah sebagaimana mestinya. Tetapi hal itu, tidak pada keluarga kurang mampu. Yakni didalam membayar seragam sekolah untuk anaknya.
Seperti halnya kejadian. Adanya berita kuli bangunan dan juga pedagang bakso resah dikarena harus bayar seragam mahal agar anaknya ini bisa bersekolah dengan benar Beberapa orangtua siswa SMP mengeluh mahalnya bahan seragam sekolah. Untuk halnya tiga paket bahan seragam harganya mencapai Rp1,2 juta.
Kondisi mahal seragam sekolah itu, sudah lama menjadi keluhan orang tua siswa, dan berlangsung hingga saat sekarang. Namun tiap ajaran baru, tidak ada solusi dari pihak pemerintah maupun wakil rakyat setempat.
Sehingga banyak orang tua terpaksa malah berutang, karena takut diperlakukan secara tidak adil itu di sekolah.
Sebuah sekolah di Brebes Jawa Tengah di awal tahun ajaran baru 2025/2026 menjadi sorotan lantaran memberikan aturan, yakni soal seragam sekolah. Seragam itu, disaat ini yang dibebankan kepada anak terutama orang tuanya untuk membayar, masih tetap jadi perbincangan. Hal itu, sampai ditelinga Bupati Brebes tersebut
Setelah juga mengetahui kondisi lapangan, yaitu wali murid yang ditagih hingga jutaan rupiah untuk seragam, maka Bupati Brebes Paramitha Widya Kusuma mengungkapkan ketegasannya menyikapi cerita curhatanya belakangan disampaikanya para orang tua SMP Negeri di Brebes, Jawa Tengah. Para orang tua merasa resah khawatir anaknya sapat perlakuan berbeda.
Tak tinggal diam, Bupati Brebes Paramitha Widya Kusuma ini bahkan telah merespon terkait isu ada pungutan pembelian bahan seragam sekolah tersebut. Pihaknya inipun menyebut, bahwasa sekolah itu tidak boleh membebankan kepada wali murid. “Karena seragam tanggungan personal siswa dan tidak boleh menjadi bagian dari kewajiban dibebankan melalui sekolah,” tegasnya.
Paramitha menegaskan, bahwa tidak boleh itu ada bentuk diskriminasi terhadap siswa yang mengenakan seragam dari luar jalur pembelian sekolah, termasuk ini dalam hal pencatatan administrasi, pembagian kelas, atau perlakuan dalam proses pembelajaran di sekolah. Lebih lanjut dikatakan dia, kalau seragam bukanya penentu kualitas belajar. Yang dibutuhkan anak-anak ini pendidikan yang ramah, adil, dan setara.
Dikutip itu dari laman TribunJateng. Cerita curhatan itu belakangan disampaikan para orang tua SMP Negeri di Brebes. Dalam ini, keresahan seperti itu tak hanya dirasakan Pak HM, Seorang pedagang bakso keliling bahkan juga harus merasakan pahit awal tahun ajaran baru 2025/2026 kali ini. Mang ST, setiap hari dia keliling dari kampung ke kampung menjual bakso.
Namun ditahun ini ia terpaksa menyisihkan pendapatan harian demi seragam anaknya. “Anak serta saya, tentu bangga bisa masuk anak di SMP Negeri. Tapi saya, juga malah bingung. Yang sebab itu harga seragamnya bisa buat ada modal saya seminggu jualan.
Tetapi kalau enggak ikut beli, hal takutnya anak saya bisa diperlakukan beda. sekolah atau koperasi,” ujarnya.
Ia mengatakan, sudah terlanjur bayar. Tapi tidak diberikan kwitansi oleh pihak sekolah, katanya nanti mau dikasih, disaat itu hanya mengisi lembar kertas pesanan saja. Sebut dia, sebagai pedagang bakso keliling yang tak menentu penghasilannya, mang ST berharap ada perubahan kebijakan yang memberikan pilihan bebas kepada orang tua untuk membeli seragam sesuai kemampuan, tanpa tekanan.
Ternyata tidak hanya pedagang bakso itu saja, ada pula kuli bangunan yang terpaksa merelakan berhutang hanya untuk anaknya bisa dapat seragam baru. Seorang buruh bangunan di Brebes, HM, harus meminjam uang dari majikannya demi memenuhi kebutuhan seragam sekolah anaknya yang baru masuk SMP Negeri pada tahun ajaran baru ini.
HM mengaku diminta menebus paket seragam dari pihak sekolah senilai Rp 1,2 juta. Paket tersebut terdiri dari tiga jenis bahan seragam — seragam OSIS, seragam khas sekolah, dan seragam Pramuka — serta satu setel pakaian olahraga. Harga itu, dinilai jauh lebih mahal dibandingkan harga seragam jadi yang dijual di pasaran.
Tidak hanya itu, HM juga masih harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menjahitkan bahan-bahan seragam tersebut secara terpisah. “Ongkos jahit hingga Rp 450 ribu untuk tiga stel bahan seragam dari sekolah, saya bahkan memberanikan diri untung berhutang ke majikan di tempat saya bekerja,” ujarnya saat ditemui media.
Pak HM menuturkan, ia mematuhi arahan sekolah, karena takut jika membeli di luar sekolah akan membuat anak bermasalah dalam pendataan. Sebab infonya didapat, nanti anak enggak dicatat, dan beda kelas sendiri. Jujur, takut anak jadi malu. Namun,
kenapa harus semahal itu, padahal saya ini tahu harga pasaran jauh lebih murah?
“Padahal ini saya sudah beli seragam OSIS biru putih di toko seragam di sini, harganya Rp150 ribuan satu stel sudah jadi. Tapi, hal itu tetap diarahkan harusnya beli dari pihak sekolah. Katanya biar seragam biar enggak beda. Hal ini, yang membuat tak paham itu dari kebijakan pemerintah. Katanya, bebas beli, tapi dintimidasi,” ujarnya.
Sementara Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga menyebut, tidak ada kewajiban membeli dari koperasi atau rekanan, kenyataannya para guru dan wali kelas kerap menjadi penyambung lidah sistem yang diam-diam seolah tak memberi pilihan. “Sekolah memang ada sediakan seragam melalui koperasi, tapi tidak wajib,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Brebes, Caridah.
Tapi dalam hal ini Caridah menyebut, tidak mengetahui adanya rekanan penyedia dari luar. Artinya seragam diserah sepenuhnya ke masyarakat. Namun ada sekolah yang menyiapkan di koperasi sekolah atau pihak lain, monggo kalau pihak masyarakat mau pesan. Sebab dalam aturan juga tidak ada pemaksaan pembelian seragam di sekolah, jadi itu sekali lagi tergantung kebutuhan wali murid,” katanya berdalih. (Dairul)