Diduga Sejumlah Negara Selewengkan Penggunaan Data dan Aplikasi Covid

0 221

DERAKPOST.COM – Sejumlah negara di dunia diduga telah menyalahgunakan aplikasi dan data pelacakan penyebaran Covid-19. Data tersebut diselewengkan untuk mengekang perbedaan pendapat hingga menyelidiki kejahatan.

Selama setahun terakhir, Associated Press (AP) mewawancarai sumber dan meneliti ribuan dokumen menyingkap bagaimana produk teknologi ini dibuat maksud kepentingan penanganan Covid-19 dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Israel menjadi salah satu negara yang diduga melakukan hal tersebut.

Badan keamanan internal Israel, Shin Bet, memiliki teknologi pengawasan telepon yang digunakan untuk memantau warga terduga anggota kelompok milisi di dalam wilayah Palestina. Saat pandemi merebak, teknologi pengawasan Shin Bet itu digunakan untuk pelacakan rantai kontak Covid-19.

Menurut AP, pada 2021, Shin Bet diam-diam mulai menggunakan teknologi serupa untuk mengirimkan pesan ancaman kepada warga Arab yang dicurigai berpartisipasi dalam bentrokan dengan aparat keamanan Israel. Majd Ramlawi (20 tahun), warga Yerusalem, adalah salah satu orang yang pernah menerima pesan ancaman tersebut.

ā€œAnda terlihat berpartisipasi dalam aksi kekerasan di Masjid Al-Aqsa. Kami akan meminta pertanggungjawaban Anda,ā€ demikian bunyi pesan berbahasa Arab yang masuk ke ponsel milik Ramlawi tahun lalu.

Dikutip dari republika.co.id. Banyak orang, termasuk Ramlawi, mengaku mereka hanya tinggal atau bekerja atau bahkan hanya sekadar lewat di dekat lokasi kerusuhan. Mereka mengklaim sama sekali tak terlibat dalam aksi bentrokan.

1. China

China pun diduga melakukan tindakan penyalahgunaan serupa. Sebagai negara pertama dalam rantai penyebaran Covid-19, warga di sana diharuskan memasang aplikasi agar bisa bergerak bebas di sebagian besar kota.

Berdasarkan data telekomunikasi dan hasil tes PCR, aplikasi tersebut menghasilkan kode QR individu yang berubah dari hijau menjadi kuning atau merah, tergantung pada status kesehatan seseorang.

Kini, saat pembatasan pandemic di China berkurang, ada bukti bahwa kode kesehatan telah digunakan untuk lumpuhkan perbedaan pendapat.Warga yang ingin mengajukan pengaduan terhadap pemerintah tiba-tiba menemukan kode mereka menjadi merah. Padahal mereka tidak dinyatakan positif Covid-19 atau menjalin kontak dekat dengan individu yang terinfeksi.

Di India, pada awal Mei 2020, kepolisian di Negara Bagian Telangana meluncurkan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan menggunakan CCTV untuk membidik warga yang tak mengenakan masker. S Q Masood, seorang aktivis sosial, termasuk di antara orang-orang yang dihentikan secara acak oleh polisi di daerah mayoritas Muslim di Hyderabad tahun lalu.

Masood mengatakan petugas menyuruhnya melepas maskernya agar mereka bisa memotretnya dengan tablet. Dia sekarang menuntut polisi untuk memperoleh penjelasan di balik tindakan tersebut.

Meskipun penegak hukum menyangkal menggunakan pengenalan wajah dalam kasus Masood, gugatan tersebut terus berlanjut. Para ahli di sana berpendapat hal itu dapat menjadi preseden untuk kegiatan kepolisian di masa depan.

2. Australia

Penyalahgunaan aplikasi penanganan Covid-19 juga diduga terjadi di Australia. Warga di Negeri Kanguru harus memindai ponsel mereka dengan kode QR jika ingin mengunjungi restoran, tempat pertunjukan, dan ruang publik lainnya. Hal itu sebagai bukti kehadiran mereka di tempat-tempat terkait. Dengan demikian, jika terdapat kasus Covid-19 terdeteksi di salah satu tempat, otoritas kesehatan dapat segera menghubungi mereka.

Namun dalam banyak kasus, aparat penegak hukum Australia diduga mengkooptasi data check-in QR tingkat negara bagian sebagai semacam jaringan elektronik untuk menyelidiki kejahatan. Praktik tersebut dilakukan meskipun ada jaminan dari pemerintah bahwa informasi tersebut hanya akan digunakan untuk mempromosikan kesehatan masyarakat

3. Amerika

Amerika Serikat (AS) juga berpotensi melakukan penyalahgunaan. Pada 2020, Negeri Paman Sam menandatangani kontrak senilai 24,9 juta dolar AS dengan perusahaan penambangan dan pengawasan data Palantir Technologies Inc. Tujuannya mendukung departemen kesehatan dan layanan kemanusiaan dalam merespons pandemi.

Kelompok hak migran Just Futures Law memperoleh dokumen kesepakatan kontrak itu di bawah Undang-Undang Kebebasan Informasi AS atau Freedom of Information Act.

Dokumen tersebut menunjukkan bahwa para pejabat federal AS mempertimbangkan untuk mengintegrasikan ā€œdata pasien yang dapat diidentifikasiā€ seperti kesehatan mental, penggunaan zat dan informasi kesehatan perilaku dari rumah kelompok, tempat penampungan, penjara, fasilitas detoks dan sekolah. Pusat Pengendalian Penyakit AS atau The U.S. Centers for Disease Control (CDC) tidak menggunakan informasi tingkat individu apa pun di platform yang sekarang dikelola CDC.

ā€œApa yang dilakukan Covid adalah mempercepat penggunaan alat-alat ini dan data tersebut oleh negara dan menormalkannya, sehingga sesuai dengan narasi tentang adanya manfaat publik. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita akan mampu memperhitungkan penggunaan data ini, atau apakah ini normal baru?ā€ kata John Scott-Railton, peneliti senior di organisasi pengawas internet Citizen Lab yang berbasis di Toronto, Kanada.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.