Kawasan Hutan Riau Rawan Digugat Sebelum Dikukuhkan

0 280

MP, PEKANBARU — Kawasan hutan Riau rawan digugat sebelum dikukuhkan pemerintah. Hal ini jika merujuk dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 45/PUU-IX/2011 tentang kawasan hutan.

Demikian diungkapkan Dr Sudino, SH MH, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Hukum Hutan (BKH-2K) kepada wartawan di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, menjelang bertolak ke Jakarta usai menyampaikan pendapat ahlinya di PTUN Pekanbaru, baru baru ini.

Menurut dia, penunjukan dan penetapan kawasan hutan atas persetujuan pemerintah, lewat Kementerian Lingkungan Hidup (Kementerian LHK) Republik Indonesia (RI). Untuk dapat dikelola pemegang izin kawasan atau penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau, ianya harus dikukuhkan dulu.

Selama ini, Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Menteri Kehutanan (Menhut) sifatnya masih berupa sebuah keputusan. Kalau dia tak ada yang membatalkan, berarti SK tetap hidup.

”Tetapi SK itu tidak mematikan juga orang lain. Kalau orang itu punya kampung halaman dasarnya sudah punya kebun, punya usaha yang dasarnya Peraturan Daerah (Perda) yang lama. Di sana kawasan pengembangan perkebunan, ya, tetap punyanya dia. Karena SK itu namanya SK. Artinya harus dikukuhkan lagi. SK kan belum pengukuhan. Mayoritas SK itu kan baru bersifat penunjukan,” kata Sudino lagi.

Sementara pengukuhan itu bersifat parsial. Mana yang sudah dikukuhkan. Mana yang belum. Akan tetapi, keberadaan SK Kawasan dan Penetapan itu, tidak serta merta ‘mematikan’ hak-hak kehidupan orang lain. Karena sebelum SK dan Penetapan itu belum keluar, di kawasan tersebut sudah ada terlebih dahulu aktivitas penduduk, seperti kebun atau pemukiman warga dan penguasaan lahan untuk dikelola pihak ketiga.

“Karena itu, SK Penunjukan dan Penetapannya harus dikukuh lagi sesuai aturan dan perundangan atas pasca Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 mendefinisikan bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap,” ungkap Sudino.

Sudino memaparkan, sesuai Pasal 14 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa ‘Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, dan Pasal 15 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus dilakukan melalui proses Penunjukan Kawasan hutan. Penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.

Apalagi dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dalam Pasal 1 angka 11: Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

Dan Pasal 15 berbunyi : Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh menteri, untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan.

Begitu juga dengan Pasal 22: ayat (1) Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (6) yang telah temu gelang.

Ayat dua dijelaskan; dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang, tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan dan ayat tiga bahwa Hasil penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terbuka untuk diketahui masyarakat.

Kemudian, terang Sudino, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012, menyatakan penguasaan hutan oleh Negara, harus memperhatikan dan menghormati hak-hak atas tanah masyarakat.

Dalam amar Putusannya menyatakan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai

“Bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” katanya lagi. *

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.