DERAKPOST.COM – Dua orang terduga cukong perambah kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah (Polda) Riau. Mereka adalah NJAS dan DP, yang dituding membuka 400 hektare hutan lindung dijadikan kebun kelapa sawit.
Namun, hingga kini, keduanya belum ditahan. Bukan karena kurang bukti, melainkan karena penyidik memutuskan menggunakan prinsip ultimum remedium, asas hukum yang menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir setelah semua jalur non-penal dicoba.
“Keduanya sudah menyanggupi untuk menyerahkan lahan ke negara, memusnahkan sawit, dan melakukan reboisasi,” kata Kombes Pol Anom Karibianto, Kabid Humas Polda Riau, dilansir dari cakaplah.com. Pernyataan itu, lanjut Anom, dituangkan dalam berita acara bersama Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Namun keputusan ini menuai kritik. Pengamat hukum Riau, H. Aspandiar, SH menyebut penggunaan asas ultimum remedium sebagai bentuk penyimpangan dari semangat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
“Pasal 4 ayat 2 huruf C Perpres jelas menyatakan bahwa pelanggaran oleh pihak yang tidak memiliki izin usaha dikenai sanksi administratif, pidana, dan penguasaan kembali lahan. Itu satu paket, bukan salah satu,” ujar Aspandiar.
Lebih lanjut, pasal 7 Perpres mempertegas: Penertiban kawasan hutan tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Artinya, pelepasan lahan saja tak bisa menghapus pelanggaran hukum.
Janji Reboisasi
Kasus NJAS dan DP hanyalah sebagian dari deretan panjang perambahan TNTN. Penegakan hukum terhadap keduanya bahkan terkesan lunak jika dibandingkan dengan penanganan terhadap tersangka lain, seperti tokoh adat berinisial J, yang mengklaim memiliki tanah ulayat seluas 113.000 hektare di kawasan TNTN.
J ditangkap setelah diketahui menjual lahan di dalam kawasan hutan melalui surat hibah kepada pihak lain, termasuk seorang pria berinisial DY yang memiliki kebun sawit seluas 20 hektare. Surat hibah itu dibeli seharga Rp5 juta per lembar.
Berbeda dengan NJAS dan DP, disaat ini J langsung dijebloskan ke tahanan. Padahal, modus yang digunakan pun berkaitan dengan klaim kepemilikan lahan dalam kawasan TNTN. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan publik, mengapa satu tersangka ditahan, sementara dua cukong dibiarkan bebas?
“Ini pertanyaan krusial,” kata Aspandiar yang juga anggota Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR Provinsi Riau.
“Karena kalau alasan ultimum remedium digunakan untuk tidak menahan NJAS dan DP, seharusnya berlaku juga untuk J, kecuali penyidik memiliki alasan lain yang belum disampaikan ke publik,” kata Aspandiar.
Titik Tegas Negara?
Taman Nasional Tesso Nilo dulunya merupakan benteng terakhir habitat gajah Sumatera dan kawasan biodiversitas yang sangat penting. Namun dalam dua dekade terakhir, hutan ini terus menyusut akibat ekspansi kebun sawit ilegal.
Meski ada upaya reforestasi, luas kerusakan yang terjadi sudah sangat besar. Hingga 2024, lebih dari 70 persen kawasan TNTN telah terkonversi menjadi kebun sawit.
Pemerintah pusat telah mencoba melakukan pembenahan melalui Satgas PKH, termasuk dengan pendekatan “win-win” seperti penyerahan lahan sukarela dan reboisasi. Namun, jika pendekatan lunak ini tidak dibarengi dengan proses hukum yang tegas dan adil, kekhawatirannya penerapan hukum menjadi transaksional, bukan lagi instrumen keadilan?
Kini, jaksa telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi untuk kasus NJAS dan DP. Lima jaksa ditunjuk untuk mengawal berkas perkara, dipimpin oleh Imam Hidayat dari Kejati Riau. Jaksa tinggal menunggu pelimpahan berkas.
Namun publik tetap menanti, akankah hukum berjalan setegak-tegaknya, atau justru lumpuh oleh kuasa cukong dan celah hukum yang bisa dinegosiasikan?
Sementara itu, hutan Tesso Nilo terus memucat. Dan jejak sawit yang tumbuh di atas luka-luka lamanya, belum tentu bisa ditebus hanya dengan janji tanam ulang. (Dairul)