DERAKPOST.COM – Diketahui, Konflik PT Seraya Sumber Lestari (SSL), merupa mitra pemasok APRIL Grup dengan Masyarakat Kampung Tumang dan Merempan Hulu di Kecamatan Siak ini memasuki babak baru. Pasca tindakan perusakan tanaman kelapa sawit milik masyarakat yang memicu aksi masyarakat dan pembakaran mes PT SSL pada 11 Juni 2025.
Terkait ini, belakangan bahwa Bupati Siak Afni Zulkifli sudah menyurati Kementerian Kehutanan agar mencabut izin PT SSL. Hal surat itu tertanggal 7 Oktober 2025. Maka, langkah dilakukan bupati tersebut, semakin dapat dukunganta dari Non-Governmental Organization (NGO). Ada tiga NGO berikan dukungan langkah Bupati Siak Afni.
Seperti halnya, dari Ahlul Fadli selaku Pjs. Direktur WALHI Riau, menegaskan, PT SSL menimbulkan masalah sejak penerbitanya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Hal ini diterbitkan melalui proses manipulatif, sebagaimana terbukti dalam kasus korupsi melibatkan kepala daerah.
“Izin PT SSL diterbitkan melalui proses yang manipulatif, sebagaimana terbukti dalam kasus korupsi penerbitan izin kehutanan dan pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) melibatkan dua bupati, Azmun Jaafar (Pelalawan) dan Arwin AS (Siak), tiga Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, serta mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal,” ujar Fadli.
Ia juga menyoroti bahwa keberadaan PT SSL telah merusak lingkungan hidup, dengan laporan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) 2024–2025 yang menunjukkan seluruh indikator lingkungan PT SSL berstatus merah, menandakan ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan.
Fadli menambahkan, dorongan dalam hal pencabutan izin PT SSL oleh Bupati Siak adalah keharusan untuk bisa mengoreksi kebijakan dalam perbaikanya tata kelola sektor perizinan di Kabupaten Siak. Sebab kerusakan lingkungan dan konflik lahan yang ditimbulkan menjadi alasan konkret bagi Kemenhut untuk mencabut izin mitra pemasok APRIL Grup ini.
Senada itu, Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo menyoroti arogansi korporasi PT SSL yang ada memicu konflik dengan masyarakat. Dimana pada 10 Juni 2025, masyarakat melakukan aksi menuntut PT SSL menghentikan gangguan terhadap tanaman kelapa sawit mereka. Namun, pihak PT SLL, melalui asisten humas, tidak memberikan kepastian hingga waktu yang disepakati.
Hal ini memicu kemarahan masyarakat, yang berujung pada pembakaran fasilitas mess karyawan PT SSL. Dan akibatnya, 12 warga menjadi terdakwa dan kini tengah menjalani proses peradilan. Peristiwa di Kampung Tumang harus dilihat dari akar masalahnya, yaitu adanya pelanggaran hak masyarakat atas ruang hidup mereka, serta provokasi dilakukan PT SSL berlangsung sejak lebih dari 10 tahun lalu.
“Mengusulkan pencabutan izin PT SSL kepada Menteri Kehutanan dan hadir di persidangan memberikan kesaksian menunjukkan keseriusan dan konsistensi Bupati Siak dalam memperjuangkan hak hutan tanah masyarakat. Ini harus didukung oleh semua elemen masyarakat Siak,” tegas Okto.
Okto mendesak Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni harus segera merespon dengan mencabut izin PT SSL. Yang karena, selain menimbulkan konflik, 87% dari konsesi PT SSL yang seluas 17.183 ha berada pada fungsi lindung ekosistem gambut dalam dengan kedalaman gambut lebih dari 4 meter. Maka sudah seharusnya Menteri Kehutanan mereview izin PT SSL. Bukan hanya izinnya diperoleh dari proses izin yang korup, tetapi juga rugikan masyarakat secara sosial dan lingkungan hidup.
Sementara itu juga disampaikanya Besta Junandi, Direktur Perkumpulan Elang. Ia menekankan bahwa penyelesaian konflik di Kampung Tumang dan Merempan Hulu tidak cukup hanya dengan pencabutan izin PT SSL. Katanya, pemerintah harus dapat mengakselerasi perlindungan dan bahkan pengakuan ruang hidup masyarakat yang melalui skema Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
“Kedua kebijakan itu, tentunya bertujuan menyelesaikan konflik agraria sekaligus diharap mengatasi ketimpangan ruang di Kabupaten Siak, di mana dari 415.799,00 Ha kawasan hutan di Kabupaten Siak yang seluas 264.123 Ha dikuasai perusahaan kehutanan. Masyarakat hanya menguasai kurang dari 20.000 hektar melalui legalitas PS dan TORA,” ujar Besta. Ia mengatakan, bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Siak dapat fasilitasi penyelesaian melalui Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PPS) atau Kelompok Kerja Reforma Agraria (Pokja GTRA). (Rilis)