Tangisan Itu Nyata, Bukan Retorika dari Tanah Riau

DI RIAU, hari ini kita tak mendengar tepuk tangan. Yang terdengar itu justru tangisan yang tertahan suara lirih, dari rakyat kecil yang terlalu pelan untuk dapat menembus tembok kekuasaan.

Seratus hari sudah berlalu sejak Gubernur Abdul Wahid dan Wakil Gubernur Riau SF Hariyanto dilantik. Seratus hari, mestinya menjadi nafas baru bagi rakyat berharap. Namun apa yang hadir justru kebisingan pencitraan, bukan kehadiran menyentuh hidup orang banyak.

Sayed Abubakar Assegaf, yang Politisi senior dan juga dikenal luas sebagai suara nurani rakyat Riau. Dalam perbincangan yang emosional namun jernih ini, Ibeck Assegaf bicara soal kenyataan di lapangan, kebijakan yang tumpul, dan air mata rakyat yang seakan tak terdengar oleh ruang kekuasaan.

Berikut petikkanya wawancara eksklusif wartawan Dairul bersama Politisi Riau Sayed Abubakar Assegaf atau lebih akrab disapa Ibeck Assegaf dalam pandangannya di tengah sorotan publik atas kinerja kepemimpinan di Pemprov Riau ini.

Wartawan:
Bang Ibeck, Anda baru saja menulis opini yang cukup mengguncang, berjudul “Tangisan yang Tak Terdengar dari Tanah Riau”. Apa yang mendorong Anda menuliskannya?

Ibeck Assegaf:
Karena saya tidak bisa diam. Di kampung-kampung, saya melihat sendiri bukan dari laporan atau statistik bagaimana rakyat hari ini bukan lagi berjuang untuk mimpi, tapi untuk makan. Banyak anak-anak di Riau berhenti bercita-cita, bukan karena malas, tapi karena lapar. Dan lebih menyakitkan, semua itu seakan tak dianggap penting oleh mereka yang duduk di atas.

Wartawan:
Apakah Anda merasa pemerintahan saat ini abai terhadap kondisi tersebut?

Ibeck Assegaf:
Saya tak mengatakan abai sepenuhnya. Tapi kepekaan itu hilang. Seratus hari ini diisi dengan potret-potret seremoni, bukan keberpihakan nyata. Ketika angka pengangguran naik, TPAK menurun, sektor informal tetap dominan, apa yang kita dengar? Malah yang ditampilkan justru sabuk mewah, senyum kamera, dan makan siang politik. Padahal rakyat sedang menjual rice cooker demi bisa beli seragam anaknya.

Wartawan:
Seberapa buruk kondisi ekonomi yang Anda lihat di lapangan?

Ibeck Assegaf:
Parah. Pertumbuhan ekonomi Riau diproyeksi hanya sekitar 3,18% – 3,71%. Tapi yang harus kita lihat bukan hanya grafik, tapi wajah orang-orang di balik angka itu. Konsumsi rumah tangga turun, sektor investasi lesu, dan petani yang menyerap 32% tenaga kerja masih hidup dalam ketidakpastian harga panen. Itu realita yang tak bisa ditutupi dengan senyum di media sosial.

Wartawan:
Tapi bisa saja ada yang mengatakan Anda terlalu sentimentil atau politis dalam mengkritik.

Ibeck Assegaf:
Saya politisi, iya. Tapi saya juga anak kampung. Saya tahu rasa lapar. Saya pernah jadi saksi ibu-ibu pinjam uang demi beli baju sekolah anaknya. Ini bukan soal sentimen, ini soal tanggung jawab. Kalau ada yang menyebut ini politis, ya memang sudah seharusnya politik membela yang lemah, bukan sibuk mendandani kekuasaan.

Wartawan:
Ada bagian tulisan Anda yang menyentuh: “Gubernur berdiri gagah, tapi rakyat berjalan tanpa cahaya.” Bisa dijelaskan maknanya?

Ibeck Assegaf:
Itu metafora dari realita hari ini. Kita lihat pemimpin hadir di banyak tempat, tapi tak benar-benar hadir di hati rakyat. Mereka tahu cara terlihat sibuk, tapi tak menyentuh yang paling dasar: dapur rakyat. Saat rakyat menahan tangis di dapur, pemimpin justru asyik potong pita dan salaman di aula mewah. Ada jurang empati di sana.

Wartawan:
Bagaimana harapan Anda ke depan, Bang Ibeck?

Ibeck Assegaf:
Harapan saya sederhana: semoga suara rakyat bisa masuk ke ruang-ruang kekuasaan yang sejuk ber-AC itu. Bahwa di luar sana, ada anak-anak yang menunggu sepatu sekolah. Ada ibu yang menunggu beras murah. Dan ada petani yang hanya ingin harga layak untuk panennya. Kalau pemimpin tak bisa hadir untuk mereka, maka kita semua gagal sebagai bangsa.

Wartawan:
Kalau Gubernur membaca ini, apa yang ingin langsung Anda sampaikan?

Ibeck Assegaf:
Pak Gubernur, rakyat tidak butuh Anda di semua podium. Mereka butuh Anda di dapur mereka, di ladang mereka, di sekolah anak-anak mereka. Turunlah, bukan hanya ke lokasi, tapi ke hati rakyat. Dengarkan tangisan itu. Karena itu bukan retorika. Itu hidup yang nyata.

Wartawan:
Terakhir, Bang Ibeck. Anda yakin perubahan bisa datang?

Ibeck Assegaf:
Saya selalu yakin. Karena harapan adalah satu-satunya yang tersisa ketika semua yang lain hilang. Dan tugas kita sebagai politisi bukan menyenangkan kekuasaan, tapi menyuarakan harapan itu sekecil apa pun ia terdengar.  ***

nyataRetorikaRiautangisan
Comments (0)
Add Comment