Tahun Berganti, Antara Optimisme dan Pesimisme

TAHUN kembali berganti. Kita seperti sedang mendayung di antara dua pulau yang berhadap-hadapan: Pulau Optimisme dan Pulau Pesimisme. Di satu sisi, ada harapan. Pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa 2026 akan lebih baik daripada 2025. Narasi tentang perbaikan ekonomi, pemulihan nasional, dan masa depan yang lebih cerah terus diulang dalam berbagai pidato dan pernyataan resmi.

Namun, optimisme itu, setidaknya untuk saat ini, masih berhenti sebagai retorika. Ia baru berupa keinginan dan kemauan, belum sepenuhnya ditopang oleh data dan fakta yang konkret. Janji terdengar manis, tetapi realitas sering kali berjalan dengan tempo yang berbeda.

Di sisi lain, ada pesimisme yang tak bisa begitu saja ditepis. Bukan tanpa alasan. Pemerintah tampak enggan bercermin pada masa lalu, khususnya pengalaman pahit sepanjang 2025. Tahun itu meninggalkan banyak catatan kelam, terutama di bidang ekonomi dan penanganan krisis.

Kita masih ingat bagaimana Sumatera dilanda bencana besar. Ribuan nyawa melayang, rumah-rumah warga lenyap tak terhitung jumlahnya, dan tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat, menanggung luka yang belum sepenuhnya sembuh. Penanganan yang lambat, koordinasi yang tersendat, dan kebijakan yang terasa reaktif membuat publik bertanya: apakah negara benar-benar hadir saat rakyat paling membutuhkan?

Di bidang ekonomi, rekam jejak itu tak kalah problematik. Janji-janji Menteri Keuangan Purbaya tentang pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat secara bertahap hingga menyentuh angka 8 persen masih menggantung di udara. Angka-angka itu terdengar ambisius, bahkan inspiratif. Tetapi sampai hari ini, publik masih menunggu bukti nyata: kebijakan apa yang bekerja, sektor mana yang benar-benar bergerak, dan kesejahteraan siapa yang sungguh meningkat.

Di titik inilah kita mendayung, di antara harapan yang ingin kita percayai dan keraguan yang lahir dari pengalaman. Optimisme memang penting, tetapi tanpa evaluasi yang jujur dan pembelajaran dari kegagalan, ia mudah berubah menjadi ilusi. Dan pesimisme, betapapun pahitnya, sering kali justru lahir dari ingatan kolektif yang tak ingin kembali dikecewakan.

Tahun telah berganti. Pertanyaannya sederhana: apakah kita benar-benar bergerak ke pulau yang lebih baik, atau sekadar berputar-putar di perairan yang sama?

Saya sendiri belum sepenuhnya yakin kita akan benar-benar sampai ke Pulau Optimisme. Keraguan itu bukan lahir dari sikap sinis, melainkan dari pembacaan atas berbagai proyeksi yang justru saling bertolak belakang. Banyak ekonom memprediksi kondisi ekonomi Indonesia pada 2026 tidak akan jauh lebih baik, bahkan cenderung stagnan, dibandingkan tahun 2025.

Di tengah keraguan itu, Bank Indonesia tampil membawa kabar optimistis. Dalam rilis resminya, BI proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 berada di kisaran 5,1 hingga 5,6 persen. Angka terdengar menenangkan, seolah menjadi jangkar harapan di tengah laut ketidakpastian.

Optimisme tersebut ditopang oleh beberapa pilar utama. Pertama, konsumsi rumah tangga yang disebut masih kuat, dengan inflasi yang dijaga tetap terkendali dalam rentang sasaran 1,5–3,5 persen. Dengan inflasi yang jinak, daya beli masyarakat diasumsikan tetap terjaga. Sebuah asumsi yang rapi di atas kertas, meski di lapangan, rasa “terjaga” itu kerap terasa relatif.

Kedua, sinergi kebijakan yang diklaim pro-stability dan kebijakan makroprudensial yang pro-growth. Kombinasi ini diharapkan mampu mendorong penyaluran kredit perbankan ke sektor-sektor prioritas. Harapannya, sektor riil bergerak, usaha tumbuh, dan lapangan kerja tercipta. Namun seperti biasa, kata “diharapkan” kembali mengambil peran utama.

Ketiga, investasi, baik bangunan maupun nonbangunan, yang diyakini akan terus mengalir seiring berlanjutnya pembangunan infrastruktur konektivitas dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan IKN yang disebut semakin masif pada 2026 diposisikan sebagai katalisator investasi nasional. Sekali lagi, keyakinan besar digantungkan pada proyek besar.

Semua pilar itu tampak kokoh dalam presentasi dan laporan resmi. Tetapi ekonomi bukan hanya soal proyeksi, melainkan juga soal kejutan, disiplin kebijakan, dan kemampuan pemerintah membaca realitas sosial yang terus berubah.

Karena itu, kita memang tidak punya pilihan selain menunggu dan melihat. Apakah proyeksi Bank Indonesia akan menjelma menjadi kenyataan, atau sekadar menjadi catatan optimisme tahunan yang kembali diuji oleh realitas? Waktu, seperti biasa, akan menjadi hakim paling jujur.

Itu baru selayang catatan di bidang ekonomi. Di bidang hukum, potret penegakan hukum pun tak menunjukkan wajah yang lebih cerah dibandingkan tahun 2025. Law enforcement masih berjalan pincang, seolah kuat di satu sisi, rapuh di sisi lain.

Kejaksaan Agung memang tampil paling mencolok. Keberhasilan mereka mengungkap dan mengembalikan keuangan negara dari jarahan korupsi kelas kakap memberi kesan show of force. Negara tampak berwibawa, setidaknya di layar publik. Namun wibawa hukum tidak bisa berdiri hanya di atas satu institusi.

Gambaran yang agak berbeda terlihat pada lembaga penegak hukum lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, masih berkutat pada operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala daerah. Persoalannya bukan pada OTT itu sendiri, melainkan pada skala. Nilai kerugian dan bobot perkara yang ditangani terasa tak sebanding dengan kebesaran nama dan mandat historis KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi kelas berat.

Sementara itu, kepolisian justru tersedot pada polemik kasus ijazah palsu Presiden Joko Widodo, sebuah perkara yang menyita energi, waktu, dan perhatian publik secara berlebihan. Ironisnya, kasus sekelas ini pun tak kunjung menghadirkan kepastian hukum yang tegas. Jika perkara dengan kompleksitas relatif sederhana saja berlarut-larut, publik wajar bertanya: bagaimana dengan kasus-kasus lain yang jauh lebih besar dan lebih rumit?

Di atas semua itu, masih melekat stigma lama yang belum berhasil ditepis: penegakan hukum yang tebang pilih. Hukum kerap terasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Persepsi ini mungkin menyakitkan bagi aparat, tetapi ia lahir dari pengalaman sosial yang berulang, dan karena itu sulit diabaikan.

Penegakan hukum, pada akhirnya, bukan sekadar soal seberapa keras negara menunjukkan kekuatannya, melainkan seberapa konsisten dan adil hukum ditegakkan. Tanpa itu, hukum hanya akan dipandang sebagai pertunjukan: keras di panggung, lemah di kenyataan.

Di bidang politik, ada satu isu menarik yang belakangan mulai diwacanakan oleh para pimpinan partai politik: perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah. Dari pemilihan langsung menuju pemilihan tidak langsung alias kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Hanya saja, wacananya masih setengah matang. Belum tegas apakah yang akan dipilih DPRD hanya gubernur dan wakil gubernur, atau sekalian bupati dan wali kota.

Soal mekanisme ini, saya sudah cukup lama merenung, mengamati, dan mempelajari efektivitas pemilihan kepala daerah. Bahkan, saya membandingkan dua fase penting: pemilihan tidak langsung pada masa Orde Baru (indirect election) dan pemilihan langsung pada era Orde Reformasi (direct election).

Memang, secara normatif dan retoris, pemilihan langsung terdengar lebih demokratis. Ia diklaim lebih mencerminkan kedaulatan rakyat dan menjadi antitesis dari praktik politik Orde Baru. Namun demokrasi, pada akhirnya, tidak cukup dinilai dari proses semata. Ia juga harus diukur dari hasil.

Dan di sinilah persoalan muncul. Output dari pemilihan langsung baik dari sisi kualitas figur yang terpilih maupun dari sisi efisiensi anggaran, ternyata tidak selalu lebih baik dibandingkan era pemilihan tidak langsung. Biaya penyelenggaraan pilkada membengkak, ongkos politik calon melambung, dan dampak ikutan seperti politik uang, konflik horizontal, serta pragmatisme elektoral kian mengeras.

Antara biaya dan hasil, korelasinya sering kali tidak positif. Bahkan, dalam banyak kasus, terasa mubazir.

Bandingkan jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Dana besar yang selama ini tersedot untuk penyelenggaraan pilkada langsung, dari logistik, pengamanan, hingga sengketa hasil, sebenarnya bisa dialihkan untuk kebutuhan publik yang lebih nyata. Dengan anggaran sebesar itu, kita bisa menyelesaikan ruas jalan tol, membangun jembatan penghubung antarwilayah, atau mendirikan gedung-gedung sekolah rakyat yang selama ini hanya hadir dalam janji kampanye.

Demokrasi tidak kehilangan maknanya hanya karena mekanisme pemilihan diubah. Yang justru perlu kita pastikan adalah apakah sistem yang dipilih mampu menghadirkan pemimpin yang kompeten, akuntabel, dan bekerja untuk kepentingan publik, bukan sekadar menang dalam kontestasi yang mahal dan melelahkan.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti memuja prosedur, dan mulai jujur menilai hasil.

“Democracy is a method, not an end,” kata Joseph Alois Schumpeter (1883–1950). Menurut ekonom dan pemikir politik besar abad ke-20 asal Austria itu, demokrasi pada dasarnya hanyalah cara, bukan tujuan itu sendiri. Ia adalah instrumen untuk memilih kepemimpinan, bukan jaminan otomatis atas kualitas hasil.

Karena itu, ketika sebuah mekanisme pemilihan menghabiskan biaya besar, melahirkan konflik berkepanjangan, dan gagal menghadirkan kepemimpinan yang lebih baik, kita patut bertanya dengan jujur: apakah kita sedang memperkuat demokrasi, atau sekadar mempertahankan sebuah ritual?

Jika demokrasi tidak lagi dinilai dari hasil yang benar-benar dirasakan rakyat, melainkan hanya dari prosedur yang dirayakan oleh elite, maka perubahan mekanisme pemilihan bukanlah pengkhianatan terhadap demokrasi. Justru sebaliknya, ia bisa dibaca sebagai upaya menyelamatkan akal sehat dalam bernegara.***

Penulis: Syafriadi

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru

berhantiOptimismepesimismetahun
Comments (0)
Add Comment