BARU saja kita menyaksikan kesepakatan KUA PPAS APBD Kuansing tahun 2026 yang angkanya fantastis, mencapai lebih dari Rp1,4 triliun. Namun, di balik angka besar tersebut, muncul satu komponen yang tak hanya menarik perhatian tetapi juga memicu tanda tanya besar: adanya proyeksi Sisa Lebih Pagu Anggaran (Silpa) dari APBD 2025 yang diperkirakan sebesar Rp79 miliar.
Munculnya Silpa ini memicu narasi yang kontradiktif di benak publik dan, yang terpenting, di mata legislatif. Anggota Banggar DPRD Kuansing, Syafril ST, dengan tegas mempertanyakan logika di balik alokasi dana ini. Pertanyaan beliau sangat mendasar: Apakah Silpa tersebut benar-benar mencerminkan efisiensi anggaran, atau justru sebuah “Silap” (kekeliruan) dalam memprioritaskan kebutuhan daerah?
Silpa, pada dasarnya, adalah dana yang tersisa karena realisasi belanja lebih kecil dari anggaran yang ditetapkan. Idealnya, dana ini menjadi bantalan fiskal yang dapat segera dimanfaatkan untuk menutupi defisit atau kewajiban yang mendesak.
Dalam kasus Kuansing, ada dua kebutuhan mendesak yang nilainya hampir seimbang dengan jumlah Silpa tersebut, yakni:
– Utang Pemkab Tahun 2024 sebesar Rp77 miliar.
-Gaji CPNS dan PPPK yang direkrut di tahun 2025.
Jika Pemkab Kuansing melalui TAPD mampu memproyeksikan adanya Silpa sebesar Rp79 miliar, yang berarti ada kelebihan dana di luar kewajiban rutin, mengapa dana tersebut tidak langsung digunakan untuk membayar utang Rp77 miliar?
Utang adalah kewajiban yang harus diselesaikan untuk menjaga kredibilitas fiskal pemerintah daerah. Mengapa harus menunda pembayaran utang ketika dana pelunas sudah tersedia?
Lebih jauh, menjadi ironis ketika gaji para pegawai baru (CPNS/PPPK) yang direkrut di tahun 2025 justru baru akan dibayarkan pada APBD 2026.
Ini menimbulkan kesan bahwa Pemkab telah menunda kewajiban penting kepada sumber daya manusianya sendiri, sementara dana segar (Silpa) sudah di depan mata.
Proyeksi Silpa sebesar Rp79 miliar yang dimasukkan ke APBD 2026 tanpa dialokasikan segera untuk utang dan gaji menimbulkan keraguan serius.
Apakah proyeksi ini menunjukkan bahwa belanja di tahun 2025 terlalu tinggi (terlalu boros) sehingga menyisakan dana yang besar? Atau, apakah ini menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam merencanakan atau merealisasikan belanja, yang seharusnya ditujukan untuk pembangunan dan pelayanan publik di tahun 2025?
Jika Silpa ini adalah indikasi adanya dana “menganggur” di tahun 2025, maka keputusan untuk menundanya hingga APBD 2026, sambil menunda pembayaran utang dan gaji, adalah sebuah langkah yang sulit dipahami. Sikap TAPD yang tidak memberikan jawaban memuaskan kepada Banggar DPRD hanya memperkuat dugaan bahwa ada “Silap” dalam alokasi prioritas, bukan sekadar hitung-hitungan anggaran.
Pemerintah daerah harus diingatkan bahwa pengelolaan anggaran adalah soal kepercayaan publik. Ketika dana tersedia, dan kewajiban mendesak sudah menunggu, transparansi dan prioritas yang tepat adalah kunci. Jangan sampai Silpa yang seharusnya menjadi berita baik bagi keuangan daerah, justru menjadi penanda adanya ketidaktepatan dalam manajemen fiskal.
TAPD perlu segera menjelaskan rasionalisasi alokasi ini kepada publik dan DPRD, sebelum Silpa dipandang sebagai Silap yang mencederai prinsip kehati-hatian anggaran.
Penulis: Hendri Chaniago