DERAKPOST.COM – Beberapa waktu lalu itu ada spanduk aksi dari pemuda mahasiswa mengecam PT Surya Dumai Group. Hal itu, mengecam adanya pelanggaran hukum, di kawasan hutan dengan menjadikan kebun sawit di Riau. Yakni dugaan perambahanya kawasan hutan dilakukanya PT Riau Agung Karya Abadi (RAKA), di daerah Desa Danau Lancang, Kabupaten Kampar.
Terkait ini, pihak Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Organisasi Masyarakat Pemuda Tri Karya (PETIR) ini mendesak Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menindaklanjuti atas dugaan perambahan kawasan hutan dilakukan PT RAKA. “Tentu, kita pun mengapresiasi kinerja Satgas PKH yang tanpa pandang bulu itu telah menyita kebun sawit. Disebab, telah meluluhlantah kawasan hutan Riau,” kata Jackson.
Ketua Umum PETIR ini mengatakan, yang termasuk tersebut lahan perusahaan milik korporasi First Resources Group Ltd, yang merupakan eks Surya Dumai Group. Sebut dia, pihaaknya meapresiasi langkah Satgas PKH dalam beberapa bulan terakhir ini juga
menyita ratusan ribu hektare kebun sawit di sejumlah wilayah Provinsi Riau.
Namun, dalam hal ini PETIR menilai kerja Satgas PKH belum tuntas. Maka ia minta tim di bawah komando Mayjen TNI Dody Triwinarto, S.I.P., M.Han, itu turut mengusut kebun sawit di bawah grup milik Martias Fangiono itu.
“Selain Satgas PKH, kita berharap kasus ini juga diselidiki oleh Kejaksaan, kalau perlu sampai tahap penyidikan. Kami siap memberikan data-data PT RAKA kalau diminta,” katanya.
Jackson menegaskan, meski saat ini lahan PT RAKA telah berstatus APL (Areal Penggunaan Lain) berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor 673/Menhut-II/2014, itu tak menghapus dugaanya perambahan hutan yang terjadi sebelumnya.
“Apakah hukum boleh berlaku surut? PT RAKA sudah melakukan penanaman jauh sebelum ada pelepasan kawasan. Lalu tiba-tiba pada 2014 keluar SK pemutihan jadi APL. Ada apa?” ucapnya.
PETIR lantas membeberkan kronologi yang memperlihatkan jejak perizinan dan sengketa lahan yang melibatkan PT RAKA, anak perusahaan Surya Dumai Group itu.
Sejumlah dokumen sejak 2002 hingga 2012 menunjukkan adanya jual beli tanah, pernyataan ganti rugi, laporan desa hingga keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Beberapa poin penting di antaranya:
2006: Kepala Desa Danau Lancang melaporkan ke Bupati Kampar bahwa PT RAKA telah menyerobot tanah ulayat dan perladangan seluas 3.000 hektare.
2011: BPN melalui surat resmi menyebut belum ada permohonan HGU atas nama PT RAKA.
2012: Pernyataan ninik mamak Desa Danau Lancang menegaskan lahan yang telah ditanami sawit selama dua tahun kemudian diserobot PT RAKA.
Dokumen lain dari Kelompok Tani Juang Makmur II memperlihatkan proses pendaftaran usaha perkebunan yang diajukan ke pemerintah daerah, disertai surat-surat keterangan yang menguatkan klaim masyarakat.
Meski status lahan berubah menjadi APL pada 2014 melalui SK 673, PETIR menilai proses “pemutihan” tersebut tidak menghapus fakta bahwa aktivitas perkebunan PT RAKA dimulai sebelum ada perubahan peruntukan.
“Kesimpulan kami, ada dugaan pelanggaran sebelum SK itu keluar. Itu yang harus diusut,” ujar Jackson.
PETIR meminta aparat penegak hukum tidak hanya fokus pada lahan-lahan besar yang sudah disita, tetapi juga mengungkap kasus-kasus lama yang terkesan ditutup.
“Kami percaya Satgas PKH dan Kejaksaan bisa menuntaskan ini. Jangan sampai pelanggaran masa lalu luput dari jerat hukum,” tutup Jackson.
Sampai berita ini diposting, belum diperoleh pernyataan dari Satgas PKH dan pihak PT. RAKA. (Rilis)