SELAMA bertahun-tahun, Provinsi Riau jadi salah satu penopang utama ekonomi Indonesia. Dari provinsi inilah minyak bumi diproduksi dalam skala besar—sekitar 180 ribu barel per hari, menjadikannya penghasil minyak terbesar nasional.
Dari daratan yang sama, kelapa sawit tumbuh di lahan seluas sekitar 3,4 juta hektare, menghasilkan 8–9 juta ton Crude Palm Oil (CPO) per tahun, tertinggi di Indonesia. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah fondasi nyata penerimaan negara, neraca perdagangan, dan pasokan energi nasional.
Namun ada satu kejanggalan yang jarang dibicarakan secara terbuka. Riau nyaris tak pernah disebut sebagai pusat hilirisasi energi dan agro nasional. Di tengah gegap gempita wacana hilirisasi, industrialisasi, dan target pertumbuhan ekonomi 8 persen, provinsi dengan bahan baku terbesar justru tetap diposisikan sebagai daerah ekstraksi. Minyak diangkat, sawit dipanen, tetapi nilai tambah dibangun di tempat lain.
Kondisi ini sulit dijelaskan dengan alasan teknis. Riau bukan wilayah tanpa pengalaman industri. Dua pabrik pulp dan kertas terbesar di Asia beroperasi di provinsi ini dan menembus pasar global selama bertahun-tahun. Fakta ini membantah anggapan bahwa Riau belum siap menjadi pusat industri berskala besar. Jika industri dengan modal dan teknologi tinggi dapat tumbuh di Riau, maka absennya industri hilir energi dan agro tidak bisa lagi disederhanakan sebagai persoalan kesiapan daerah.
Di titik inilah persoalan hilirisasi berubah dari isu teknokratik menjadi masalah pilihan kebijakan dan keberanian politik.
Pola pembangunan nasional selama ini memperlihatkan kecenderungan yang berulang: daerah kaya sumber daya ditempatkan sebagai pemasok, sementara pusat nilai tambah tumbuh di lokasi lain. Pola ini mungkin efisien dalam jangka pendek, tetapi merusak struktur ekonomi dalam jangka panjang.
Riau menjadi contoh paling gamblang. Provinsi ini memberi kontribusi besar terhadap devisa negara, namun manfaat ekonomi lanjutan—industri pengolahan, teknologi, dan lapangan kerja bernilai tinggi—tidak tumbuh sebanding. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan keadilan daerah, melainkan indikator lemahnya desain industrialisasi nasional.
Hilirisasi digadang-gadang sebagai jalan keluar dari jebakan komoditas. Tetapi ketika daerah dengan pasokan terbesar justru tidak dijadikan pusat pengolahan, maka kebijakan ini kehilangan logika dasarnya. Hilirisasi tanpa Riau sejak awal mengandung kontradiksi.
Target pertumbuhan 8 persen membutuhkan mesin ekonomi yang bekerja penuh. Mengabaikan Riau berarti negara secara sadar membiarkan salah satu mesin terbesarnya berjalan setengah tenaga. Dalam konteks ini, kegagalan bukan soal kekurangan sumber daya, melainkan salah memilih lokasi dan prioritas.
Jika negara ingin konsisten, maka Buruk Bakul di Kabupaten Bengkalis layak ditempatkan sebagai pusat hilirisasi energi dan agro di Riau. Letaknya strategis, berada di jalur perdagangan internasional, dan dekat dengan basis produksi minyak serta sawit. Pilihan ini bukan sekadar aspirasi daerah, melainkan pertimbangan rasional kepentingan nasional.
Menunda pengembangan kawasan industri di lokasi ini sama artinya dengan menunda efisiensi ekonomi yang sebenarnya sudah tersedia di depan mata.
Keraguan pemerintah pusat dalam menetapkan Riau sebagai pusat hilirisasi menunjukkan satu problem klasik: kebijakan besar sering berhenti di level wacana. Visi disampaikan, peta jalan disusun, tetapi keputusan kunci selalu tertunda. Dalam politik ekonomi, keraguan seperti ini memiliki biaya yang mahal.
Namun pemerintah daerah pun tidak sepenuhnya bebas dari kritik. Riau belum tampil sebagai aktor politik yang cukup keras memperjuangkan posisinya. Dalam kompetisi kebijakan nasional, suara yang terlalu normatif sering kali tenggelam.
Indonesia tidak akan mencapai Indonesia Emas dengan membiarkan mesin ekonominya berjalan dalam posisi idle. Riau adalah mesin itu. Dengan minyak terbesar, CPO terbesar, dan kapasitas industri yang sudah terbukti, mengabaikan Riau berarti menyia-nyiakan peluang pertumbuhan yang paling konkret.
Jika negara terus menunda keputusan strategis ini, publik berhak mempertanyakan keseriusan agenda hilirisasi itu sendiri. Apakah Indonesia benar-benar ingin tumbuh cepat, atau sekadar ingin terlihat memiliki rencana besar?
Pada akhirnya, Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang masih langka adalah keberanian politik untuk menggerakkan mesin ekonomi di tempat yang semestinya.
Penulis: Heri Susanto
*Pemerhati Sosial, CEO Cakaplah.Com