DERAKPOST.COM – Peneliti dari Lingkar Studi Marpoyan Circle Indonesia (MCI), Andree Armilis mengatakan, umumnya masyarakat memang tidak mengetahui bahwa ada ini Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) XI Sumatera di Provinsi Riau.
Alumnus Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mengatakan, secara personal, mungkin memandang adanya olahraga sebatas kegiatan fisik. Tetapi, bila sudah menyangkut event olahraga, selayaknya ini fokus pada fungsi sosial dari olahraga itu.
“Secara personal, kita bisa saja mungkin memandang olahraga sebatas kegiatan fisik. Tapi, bila sudah menyangkut event olahraga, kita selayaknya ini fokus pada fungsi sosial dari olahraga itu,” jelasnya.
Pria ini mengatakan, Porwil XI Sumatera dinilai gagal total.
Sebutnya, dengan menghabiskan uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak, dan disalurkan lewat APBD Riau 2023, yaitu sebesar Rp19,8 miliaran, ditambah dana dari sponsor seperti PTPN V. Kegagalan itu katanya, bisa disebut sebagai suatu tindakan pandir.
Disebutkannya, olahraga setidaknya itu berperan memupuk rasa persahabatan, menimbulkan respek terhadap sesama dan menumbuhkan kemampuan dalam kerjasama sosial. Karena hal semua itu adalah social capital yang penting, serta bahkan lebih mahal untuk semata-mata capaian rekor dan prestasi olahraga itu sendiri.
Sebab itulah, ujarnya, helatan olahraga lazimnya digaungkan sedemikian rupa sehingga efeknya menjangkau semua lapisan masyarakat. “Jadi, apabila ada event olahraga, level wilayah, habiskan hingga Rp19,8 miliar pula, belum halnya bantuan perusahaan di Riau, tetapi tidak berpengaruh bahkan tidak ada diketahui keberadaannya oleh masyarakat, secara sosial event itu bisa kita katakan gagal,” ujarnya.
Menurutnya, Porwil XI Sumatera di Riau dikatakan gagal total, karena tidak ada berdampak sedikitpun kepada ekonomi masyarakat terkhusus kabupaten/kota tempat penyelenggaraan baik itu UMKM maupun pedagang kecil.
Anehnya, tambahnya, Ketua Komisi V DPRD Riau yang membidangi olahraga pun sampai tidak tahu, dan itu berarti jelas penyelenggara Porwil XI Sumatera yang menghabiskan hampir Rp 20 miliar tapi publikasinya tidak ada
“Di era informasi, bertindak menutup-nutupi informasi publik merupakan satu tindakan pandir. Apalagi di dunia digital yang serba transparan dan mau tak mau harus akuntabel,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya.
Ditambahkannya, apalagi konteksnya informasi terkait olahraga, ya seharusnya in-line dengan semangat sportivitas dan keterbukaan yang dibawa oleh olahraga itu sendiri.
”Ini merupakan dualisme mental yang sangat ironis ketika sebuah gelaran olahraga yang intinya mempromosikan sikap ksatria dikelola dengan cara pengecut dan kucing-kucingan,” tutupnya. **Rul