OPERASI Tangkap Tangan (OTT) dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada 3 November 2025 bukan sekadar peristiwa hukum. Ia adalah cermin dari krisis sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah, sekaligus ujian terhadap komitmen penegakan hukum di era pasca-revisi UU KPK.
1. OTT sebagai Instrumen Hukum: Legalitas dan Batas Etis
Secara hukum, OTT merupakan tindakan sah yang diatur dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 21 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Penangkapan terhadap seseorang yang sedang melakukan tindak pidana korupsi tidak memerlukan izin penangkapan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
Namun, OTT bukan sekadar soal legalitas. Ia menyangkut etika penegakan hukum: apakah OTT dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau sekadar menjadi instrumen politik dan pencitraan? Dalam kasus Abdul Wahid, KPK perlu membuktikan bahwa OTT bukan hanya respons terhadap tekanan publik, melainkan bagian dari strategi sistemik pemberantasan korupsi.
2. Dugaan Korupsi Proyek Infrastruktur: Pola Lama yang Berulang
Informasi awal menyebutkan bahwa OTT ini terkait proyek di Dinas PUPR Provinsi Riau. Jika benar, maka ini bukan kasus baru, melainkan pengulangan dari pola korupsi kepala daerah yang melibatkan:
– Pengaturan pemenang tender,
– Penerimaan fee proyek,
– Kolusi antara pejabat dan kontraktor.
Pasal yang berpotensi dikenakan antara lain Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor tentang suap dan gratifikasi, serta Pasal 55 KUHP tentang penyertaan. Namun, yang lebih penting dari pasal adalah pola: mengapa sistem pengawasan internal dan eksternal gagal mendeteksi dan mencegah praktik ini sejak awal?
3. OTT terhadap Kepala Daerah: Simbol atau Solusi?
OTT terhadap Abdul Wahid adalah yang pertama terhadap gubernur di era Presiden Prabowo Subianto. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah OTT ini simbol bahwa KPK masih bekerja, ataukah solusi terhadap korupsi struktural di daerah?
Dalam konteks ini, OTT harus dilihat sebagai bagian dari ekosistem hukum yang lebih luas:
– Apakah ada reformasi dalam sistem pengadaan barang dan jasa?
– Apakah inspektorat daerah berfungsi sebagai pengawas internal?
– Apakah DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara independen?
Tanpa pembenahan sistemik, OTT hanya akan menjadi ritual tahunan yang tidak menyentuh akar masalah.
4. Praduga Tak Bersalah dan Etika Media
Sebagai bagian dari masyarakat hukum, kita wajib menjunjung asas presumption of innocence. Abdul Wahid belum tentu bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Media dan publik harus berhati-hati dalam membingkai narasi agar tidak menjadi pengadilan opini.
5. Penutup: OTT sebagai Momentum Reformasi
OTT terhadap Gubernur Riau harus menjadi momentum untuk:
– Mendorong transparansi dalam pengelolaan proyek daerah,
– Memperkuat peran pengawasan internal dan eksternal,
– Menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan politik.
Jika tidak, maka OTT hanya akan menjadi headline sesaat, bukan langkah menuju tata kelola yang bersih dan berintegritas.
Penulis: Afrijon Ponggok Katik Majolelo
*Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Hukum UNILAK