Oalah …. Plt Kepala SDN Ini Akui Tak Siap, Menyesal Terima Jabatan di Tengah Proyek Bernilai Rp736 Juta

DERAKPOST.COM – Dunia Pendidikan, saat ini kembali menjadi sorotan. Kali ini datang dari SDN Kerinjing, Kecamatan Rajabasa di Lampung Selatan. Dimana, ini menjalankan proyek rehabilitasi sekolah tersebut senilai Rp736 juta, dalam hal Program Revitalisasi Satuan Pendidikan bersumber dari APBN Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)

Dikutip dari laman InDepthNews. Namun, di balik proyek yang semestinya menjadi momentum hal peningkatan mutu sarana belajar itu, muncul pengakuan yang sangat  mengejutkan dari Plt Kepala Sekolah, Rika Sari Dewi, S.Pd. Ia mengaku juga tidak siap memimpin sekolah, bahkan menyesal telah menerima jabatan tersebut.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Rika menyebut jabatan itu diberikan kepadanya bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena tidak ada guru lain yang bersedia menduduki posisi kepala sekolah.

“Saya keberatan jadi kepala sekolah sejak awal sebelum diangkat. Karena jadi kepala sekolah ini cuma bikin pusing. Enakan jadi guru biasa, fokus ini bikin murid pintar. Gak dicari-cari orang. Tapi, sekolah ini gak ada yang mau jadi kepala sekolah. Semua telah  menolak. Akhirnya saya pun yang ditunjuk,” ujarnya menjelaskan awalnya.

Pernyataan itu membuka persoalan serius dalam halnya sistem penunjukan pejabat di satuan pendidikan. Jabatan kepala sekolah yang seharusnya diisi oleh figur pemimpin yang kuat serta berkompeten, justru diberi kepada sosok yang dengan secara terbuka mengaku tidak siap secara mental maupun administrasi.

Rika, kini harus menanggung beban besar di tengah pelaksanaan dari proyek bernilai ratusan juta rupiah tersebut. Dalam hal ini, bertanggung jawab atas seluruh kegiatan rehabilitasi 6 ruang kelas, meski mengaku tidak memiliki kemampuan teknis dalam pengelolaan proyek sekolah.

Masalah kian pelik, ketika didalam proses pembongkaran atap gedung sekolah, dua warga desa terjatuh dan terluka. Kegiatan pembongkaran dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat setempat tanpa perlengkapan keselamatan kerja (K3). Ini terjadi karena tidak ada anggaran khusus untuk pembongkaran bangunan. Sehingga pihak sekolah memutuskanya melibatkan warga secara manual.

Selain persoalan teknis, Rika juga mengaku banyak menghadapi tekanan itu dari pihak luar selama proyek berlangsung. Disebut ia bahwa ada oknum yang datang ke sekolah, mengaku sebagai wartawan atau LSM, dan melakukan tindakan itu menurutnya sangat bersifat mengintimidasi.

“Yang datang itu bertanya-tanya. Maka hal itu saya persila tanya kepala tukang. Yang juga pernah diintimidasi oleh orang datang ke sekolah,” ungkap Rika. Tekanan tersebut membuat Rika semakin menyesal hal telah menerima jabatan kepala sekolah. Yang ia merasa sendirian saja menanggung halnya tanggung jawab besar tanpa ada dukungan maupun perlindungan dari dinas terkait.

Pengakuan ini menggambarkan lemahnya perlindungan dan hal pembinaan terhadap kepala sekolah di lapangan. Di sisi lain, hal pengakuan, juga menimbulkan pertanyaan besar terkait mekanisme seleksi dan serta  pembinaan kepala sekolah di daerah. Yang mengapa jabatan kepala sekolah itu, tetap diberikan kepada sosok secara terbuka ini mengaku tidak siap?

Diketahui, fenomena yang menjadi cermin buram tata kelola pendidikan pada tingkat daerah. Dimana jabatanya kepala sekolah kerap diperlakukan itu sekadar formalitas struktural, bukanya fungsi kepemimpinan sejati. Dan di tengah sistem yang rapuh itu, seorang pendidik seperti Rika ini justrunya menjadi korban — bukan hanya dari halnya tekanan proyek, tetapi juga dari kebijakan menempatkannya itu di posisi yang sejak awal tidak pernah ia inginkan. (Dairul)

jabatanKepalaProyekSDNsenilai
Comments (0)
Add Comment