DERAKPOST.COM – Di tengah rimbun hutan Halmahera Timur (Haltim), suara mesin tambang bergema tanpa izin. Citra satelit merekam luka terbuka di tanah negara. Nilainya tak main-main, sekitar Rp374 miliar. Anehnya, pejabat seharusnya menjaga, justru diam seribu bahasa.
Artinya, aroma nikel ilegal tercium dari dalam kawasan hutan Haltim, Provinsi Maluku Utara. Bukannya dicegah, dugaan penggalian bijih nikel senilai ratusan miliar rupiah itu justru seperti dibiarkan menguap oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sampai saat ini, tak ada tindakan tegas, tak pula ada jawaban atas sederet laporan resmi. Investigasi bermula dari temuan PT Wana Kencana Mineral (WKM), pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Kecamatan Wasile Selatan.
Dikutip dari riausatu.com. Sekitar awal Februari 2025, tim teknis perusahaan itu menangkap aktivitas penggalian ilegal di dalam wilayah konsesi mereka melalui pemantauan drone dan citra satelit.
“Penggalian dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki izin,” kata Hengki Seprihadi, Sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Sabtu (3/5/2025) dalam keterangan tertulisnya.
CERI menduga aktivitas itu dilakukan oleh PT Position, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Grup Harum Energy milik taipan Kiki Barki.
WKM melaporkan temuan itu ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Utara pada 18 Februari 2025.
Enam hari kemudian, polisi menerbitkan surat perintah penyelidikan dan memasang garis polisi di lokasi. Namun, tindakan hukum itu tak berlangsung lama.
Saat tim CERI melakukan peninjauan pada 21 April 2025, police line di lokasi sudah tak tampak.
Portal kayu pengganti yang sempat dipasang WKM pun telah dicabut dan dibiarkan teronggok di pinggir jalan.
“Kami heran, mengapa pengamanan lokasi justru dilepas,” kata Hengki.
Saat ditanya, petugas di lapangan menyebut pencopotan dilakukan atas permintaan dari Polda Maluku Utara.
Namun, ketika CERI meminta klarifikasi resmi, hingga kini belum ada jawaban.
Kebisuan serupa juga datang dari Ditjen Minerba.
Menurut Hengki, WKM telah melaporkan kasus ini secara resmi kepada Dirjen Minerba pada 21 Februari 2025.
Bahkan, Direktur Utama WKM Letjen Purn Eko Wiratmoko telah menemui Dirjen Minerba Tri Winarno secara langsung.
Namun tak ada langkah konkret. Tak ada audit, teguran, apalagi penghentian kegiatan ilegal.
CERI kemudian mengirim surat konfirmasi kepada Ditjen Minerba pada 29 April 2025.
Surat itu juga ditembuskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, serta pejabat tinggi di Kementerian ESDM.
“Kami hanya ingin tahu apa tindakan negara atas hilangnya bijih nikel milik negara senilai Rp374 miliar,” kata Hengki.
Nilai tersebut, menurut perhitungan teknis PT WKM, berasal dari estimasi volume mineral laterite dan limonite yang digali secara ilegal.
Namun, nilai pasti kerugian negara harus dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP.
Sejak laporan dikirim, belum ada jawaban. “Negara seperti membiarkan sumber daya alamnya dijarah,” ujar Hengki.
Ia menambahkan, pembiaran ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada 22 April 2025, Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman bersama Pemred Riau Satu yang juga Wasekjen PWI Pusat Novrizon Burman, dan Ketua PWI Maluku Utara Asri Fabanyo, mendatangi Kabid Humas Polda Malut, Kombes Bambang Suharyono.
Namun jawaban yang mereka terima pun nihil: “Belum ada informasi lengkap dari direktorat reserse,” kata Bambang.
Menurut Hengki, ketidakjelasan ini justru memperkuat dugaan bahwa ada pembiaran sistematis yang melibatkan lebih dari satu institusi.
“Kami berharap Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan mengevaluasi kinerja pejabat yang seharusnya menjaga kekayaan negara,” ucapnya. (Dairul)