Negeri yang Keterlaluan

 

MASIH terngiang di telinga julukan-julukan yang diberikan terhadap negeri kita oleh media massa, terutama semenjak reformasi. Mulai dari  Negeri Seribu Maling, Negeri Tak Terdidik (uneducated) dan Negeri Tak Dipercaya (distrust). Akhir-akhir ini terdengar pula julukan yang cukup merisaukan yaitu; Negeri yang Keterlaluan.

Kita lihat dan kita dengar berita- berita media cetak maupun online, tiada hari tanpa berita kemungkaran atau kezaliman. Yang tak mungkin jadi kenyataan, yang tak diduga terjadi. Pelakunya adalah orang-orang ‘hebat’. Mulai dari orang tua, isteri, anak, menantu, jenderal, polisi, guru, dosen, ustaz, pengasuh pesantren, jaksa, hakim, legislatif, eksekutif, pengacara maupun artis.

Mereka terperangkap oleh jebakan kezaliman. Orang tua membunuh anak, suami aniaya isteri, mutilasi sudah hal biasa, pelecehan seksual berita keseharian, apa lagi narkoba tak kunjung surut, tawuran merupakan hobi. Silakan tambahkan karena banyak lagi.

Untunglah penegak hukum, termasuk KPK belum bosan mengejar manusia-manusia zolimun tersebut. Hanya saja di negeri kita  penganjur kebaikan hampir selalu kalah oleh penganjur kejahatan.

Di sisisi lain kita bersyukur, masjid semakin banyak, megah, ber-AC, ustazpun semakin banyak, pengajian-pengajian berlangsung secara baik, termasuk tablig akbar dengan ustaz-ustaz kondang yang pintar bahasa Arab dengan penampilan ke Arab-araban pula. Sampai di sini tak ada yang salah, bagus dan berlangsung secara aman dan tertib, alhamdulillah.

Namun, mulai orang-orang bertanya, melihat dan mendengar kezaliman yang tadi disebut, sepertinya ada masalah dalam pendidikan dan dakwah. Logika berkata, jika pendidikan dan dakwah sukses, takkan begini negeri kita, apa lagi pengamat-pengamat kedai kopi yang bicara seenaknya namun ada benarnya juga. Mereka menyoroti kualitas pendidikan dan dakwah.

Bicara pendidikan, sudah cerita lama pendidikan kita masih menejar kuantitas, belum kualitas, masih mengutamakan ijazah dan banyak lulus. Kita butuh pendidik tidak hanya pengajar. Sekedar ilustrasi, dari 5 ribuan kampus di Indonesia, yang masuk rangking dunia dapat dihitung dengan jari dan dari perguruan tinggi yang sama. Begitu pula mubalig, pintar ceramah, fasih bahasa Arab dengan penampilan ke-Arab-araban, padahal kita bangsa Indonesia bukan bangsa Arab.

Kita butuh mubalig yang betul-betul berilmu tentang agama, tidak hanya menghafal-hafal ayat dan hadist. Materi akhlak terabaikan, yang selalu dikemukakan tentang ibadah. Padahal di kampus saja mata kuliah akhlak itu diberikan minimal satu semester. Banyak ceramah agama, tapi belum terprogram dengan baik, hanya sekedar menerjemah ayat dan hadist, ditambah retorika yang menarik.

Demikian kondisi keummatan yang sedang kita nikmati akhir-akhir ini, tiada hari tanpa berita kezaliman dan viral. Padahal Islam sangat menolak hal-hal yang berlebihan. Kita khawatir jika berlangsung terus, akan tambah lagi julukan negeri kita, negeri biadab. Nauzubillah.

Wallahu a’lam.***

Penulis: Drs H Iqbal Ali, MM

Dosen & Ketua Dewan Penasihat IKMR Provinsi Riau

keterlaluannegeri
Comments (0)
Add Comment