Masyarakat Kecil Merasa Miris dan Protes Tunjangan Anggota DPR RI, Ini Dia Suara Arus Bawah

DERAKPOST.COM – Keberadaan dari DPR RI saat ini sedang digoyang dengan minta lembaga tersebut dibubarkan. Terlebih hal menerima sejumlah fasilitas, yang hingga tunjangan dibayarkan setiap bulan. Maka, sejumlahan pihak dari arus bawah angkat bicara memprotes.

Pasalnya, setiap anggota DPR RI periode 2024-2029, menerima sejumlah fasilitas hingga tunjangan yang angkanya sangat fantastis. Yakni, setiap bulanya sejumlah pendapatan di luar gaji pokok, maka bisa berkali-kali lipat lebih besar dari gaji yang diterima.

Dikutip dari laman CNNIndonesia. Setiap anggota DPR menerima tunjangan rumah sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Yaitu, setiap anggota menerima Rp50 juta per bulan. Jika ditotal, seorang anggota DPR bisa mengantongi uang lebih dari Rp100 juta dalam satu bulan. Jumlah ini belum termasuk dana kunjungan daerah pilihan (dapil) dan uang reses.

Tunjangan besar dan beragam fasilitas mewah yang diterima para wakil rakyat ini mendapat sorotan tajam dan kritik luas. Banyak pihak menilai tak pantas para anggota dewan ini bermewah-mewah, sementara rakyat yang diwakilinya hidup susah.

Masyarakat juga heran para anggota DPR ini menerima tunjangan seperti tunjangan beras, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, tunjangan peningkatan fungsi, hingga uang listrik dan telepon.

Seperti halnya, Zifa (24) seorang guru SMA asal Jakarta Barat ini menyebut kenaikan tunjangan DPR sangat memprihatinkan. Ia membandingkan besarnya tunjangan dewan dengan gaji guru yang masih jauh dari layak.

“Kita kan sebagai guru ya, merasa sakit hati sih sebenarnya, gaji guru aja tuh masih banyak yang bahkan enggak nyampe Rp50 ribu gitu. Seharusnya sih bisa dilihat lah, kondisi masyarakat Indonesia tuh lebih miris daripada anggota DPR,” kata Zifa kepada CNNIndonesia.

Sebagai tenaga pengajar, Zifa mengaku kecewa. Ia merasa perjuangannya menempuh kuliah hingga program profesi guru (PPG) tidak sebanding dengan penghargaan yang didapatkan. Sementara anggota DPR, menurutnya, justru bisa mendapat gaji besar tanpa kerja keras.

“Seharusnya sih bisa membuat kebijakan yang lebih bijak lagi untuk rakyatnya, bukan rakyat yang harus menjadi tulang punggung negara. Tapi memang harusnya lebih bijak lagi aja sih,” ujarnya.

Zifa juga menyinggung program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilainya kurang relevan. Menurutnya, pemerintah dan DPR lebih baik menyediakan pendidikan gratis dan penciptaan lapangan kerja.

“Karena enggak semua murid itu butuh makanan bergizi, tapi justru murid butuh yang namanya pendidikan gratis. Bukan makanan bergizi. Kalau bisa lapangan pekerjaannya lebih dibanyakin, agar orang tuanya bisa kerja, anaknya bisa sekolah dengan layak,” jelasnya.

Zifa mengatakan pemerataan pendidikan sangat penting dilakukan. Pendidikan di Jakarta dengan daerah, terutama masih sangat timpang. Menurutnya, anggaran yang dialokasikan untuk tunjangan DPR dan menteri bisa dialihkan ke pendidikan.

“Seharusnya pemerintah bisa mengecek lah kondisi sekitar, maksudnya masih banyak masyarakat yang memang harus dipedulikan lebih dulu daripada menaikkan gaji DPR MPR,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zifa mengatakan, bahwa DPR jadi beban rakyat, yang artinya anggota dewan seharusnya tidak melupakan rakyat ketika sudah duduk di Senayan. Ia dalam hal ini menyebut para anggota DPR terpilih karena suara rakyat.

Zifa juga meminta para wakil rakyat merealisasikan semua janjinya ketika kampanye pemilu. Menurutnya, jangan sampai rakyat hanya di dengar ketika pemilu dan dilupakan selama menjabat lima tahun.

“Kalau misal masyarakat bilangnya anggota DPR MPR justru beban rakyat, bukan rakyat yang beban negara, tapi mereka yang beban rakyat,” ujarnya.

Senada dengan Zifa, Rahma (24), guru lainnya, menyebut DPR sudah berubah menjadi beban rakyat. Seharusnya DPR bukan beban rakyat. Tapi saat sekarang mengecewakan.

Erren (20) seorang freelancer, menilai tunjangan DPR tidak masuk akal di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang masih jauh dari merata. (CNN Indonesia/Kayla Nathaniel)

Sementara itu, Erren (20) seorang freelancer menilai tunjangan berlebihan untuk anggota DPR tidak masuk akal di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang masih jauh dari merata.

“Apalagi kita bisa lihat dari faktor ekonomi kita, dari bahkan penyebaran edukasi yang di Indonesia tidak cukup merata bagi guru-guru honorer kita, especially yang di Malang itu mereka bahkan sebulannya aja itu baru cuma Rp600 ribu doang, bahkan enggak sampai Rp1 juta,” ujar Erren.

Erren pun menyindir Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang salah hitung soal tunjangan rumah anggota DPR. Adies menyebut tunjangan rumah untuk anggota DPR mestinya mencapai Rp78 juta per bulan, namun saat ini hanya Rp50 juta.

“Yang mereka bilang tunjangan rumah untuk bayar kos itu Rp3 juta sebulan, tapi Wakil Ketua DPR kemarin pas konferensi pers itu mengatakan Rp3 juta itu perbulan kalau misal dikali 26, itu berarti Rp78 juta. Nah di situ beliau mengatakan aja sudah salah dalam perhitungannya,” jelasnya.

Menurut Erren, tunjangan rumah Rp50 juta per bulan para anggota DPR ini sebenarnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan guru honorer.

“Rp50 juta itu bisa buat bayar berapa ratusan gaji guru honorer yang ada di Indonesia sekarang. Gaji guru honorer aja bahkan enggak sampa Rp1 juta, bahkan cuma Rp600 ribu, dan mereka menjunjung tinggi banget loh, pendidikan yang ada di Indonesia ini,” kata Erren.

Mereka kata Erren, ingin membuat indonesia emas pada 2045, sementara para wakil kita, DPR itu sayangnya sangat menurut saya tidak pantas untuk kenaikkan gaji. Jadi faktor ekonomi dan pendidikan juga kita sangat kurang.

Erren mengatakan pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan kualitas pendidikan ketimbang mementingkan tunjangan anggota DPR maupun pejabat kementerian.

“Seharusnya untuk saat ini pemerintah kita harus berfokus untuk menaikkan kualitas pendidikan kita. Sangat miris sekali. Kemarin saya lihat di beberapa sosmed juga ada anak SMP tidak bisa melakukan perhitungan dasar, seperti 5 kali 5, mereka menjawab yang seharusnya 25, mereka menjawabnya itu hanya 30. Itu sangat disayangkan sekali,” ujarnya.

Kekecewaan juga disampaikan Lia (45), seorang bidan. Ia merasa miris dengan gaji kecil tenaga kesehatan yang jauh dari layak, sementara anggota DPR memiliki pendapatan hingga Rp100 juta per bulan.

“Saya pribadi sebagai bidan, sebagai salah satu nakes, merasa miris sekali, sedih sekali. Sedangkan kami para nakes gajinya kecil sekali, tidak sebanding dengan biaya-biaya yang pernah kami keluarkan waktu kuliah,” kata Lia.

Menurut Lia, kenaikan tunjangan DPR sangat berlebihan. Ia mengingatkan pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kesejahteraan para tenaga kesehatan.

“Saya kira jangan berlebihan lah ngasih tunjangannya (ke anggota DPR). saya pribadi minta perhatian pemerintah kepada kami para nakes kesejahteraannya,” ujarnya.

Ia meminta pemerintah untuk menaikkan UMR, khususnya bagi tenaga kesehatan di rumah sakit pemerintah, alih-alih menaikkan tunjangan para anggota dewan.

“Saya mewakili para nakes mintanya selain UMR dinaikkan lagi, terutama nakes ya. Nakes tuh, terutama di rumah sakit pemerintahan mungkin gajinya kan kecil. Itu tolonglah hargai usaha kami, hargai keringat kami, jangan terlalu kecil gitu. Supaya kami bisa hidup sejahtera juga seperti yang lainnya,” katanya.

Lia (45), seorang bidan merasa miris dengan gaji kecil tenaga kesehatan yang jauh dari layak, sementara anggota DPR memiliki pendapatan hingga Rp100 juta per bulan.

Lia juga menegaskan DPR tidak layak berbangga dengan tunjangan besar tanpa kinerja yang sepadan. Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk memperhatikan kesejahteraan para nakes.

“Untuk DPR ya jangan berbangga dengan tunjangan yang sebegitu besar. Harusnya sih diimbangi dengan kinerja yang bagus, kinerja yang lebih baik lagi. Bapak Presiden yang terhormat kami tolong perhatikan kami para nakes, tolong perhatikan kesejahteraan kami para nakes.”

Sementara itu, Celty, seorang tenaga ahli perencanaan menilai tunjangan rumah yang didapatkan anggota DPR hingga Rp50 juta hanya menciptakan kecemburuan sosial.

“Saya pikir dengan tunjangan Rp50 juta tersebut itu akan memicu kontra kepada kecemburuan masyarakat, khususnya di daerah Ibu Kota Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya, dikarenakan dari masyarakat sendiri itu pun melihat hal ini menjadi sebuah kontra, yang mana masyarakat akan merasa paling diterbebani, karena gaji dari DPR dari masyarakat, terutama dari pajak masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

Celty menyinggung iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen yang wajib dibayar masyarakat. Menurutnya, program ini sangat tidak adil, sementara pemerintah justru memberikan tunjangan rumah ke para anggota dewan sampai Rp50 juta.

“Karena nilai Rp50 juta itu bukan kecil, dan itu termasuk besar sekali menurut saya,” ujarnya.

Celty mengatakan kebijakan pemerintah dalam efisiensi anggaran  juga harus berlaku bagi pejabat, bukan hanya masyarakat.

“Karena saya rasa ketimpangan yang ada di antara masyarakat biasa dengan pejabat yang ada di sana itu gapnya terlalu tinggi. Sehingga perlu adanya pengkajian ulang terkait dengan pemasukkan dan pengeluaran dari masyarakat dan juga pejabat pejabat yang ada di sana,” tuturnya.

Lebih lanjut, Fara (29), mahasiswa pascasarjana, menilai besarnya tunjangan para wakil rakyat semakin memperlihatkan DPR tidak berpihak pada rakyat.

“Tentu saya dan teman saya sangat tidak sepakat dengan adanya kebijakan ini ya. Simple saja, kita tidak ingin juga menjadi orang yang munafik ya. Bahwasannya di negeri Indonesia ini juga masih banyak rakyat yang perlu bantuan,” kata Fara.

Fara mempertanyakan peran DPR yang disebut sebagai perwakilan rakyat. Ia mendorong pemuda untuk berpikir kritis dan menyuarakan hak-hak rakyat.

“Maka harusnya kita sebagai seorang mahasiswa dan pemuda disini mulai berfikir kritis. Yakinkah orang-orang yang dikatakan sebagai perwakilan rakyat ini benar-benar mewakili rakyat atau hanya untuk meraih kepentingannya sendiri? Betul, nah maka seharusnya inilah menjadi titik awal kita ya untuk menyuarakan apa yang harusnya menjadi hak kita,” ujarnya.

Fara berharap suara rakyat tidak diabaikan. Ia meminta pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya segelintir elite.

“Maka di sini kita harus menyuarakan selagi memang kita bisa menyuarakan kebenaran itu. Karena yang bisa kita lakukan adalah menyuarakan hingga suatu saat suara kita bisa terdengar sampai kepada mereka semua dan mereka pun harusnya malu dengan kebijakan-kebijakan yang sudah mereka berbuat,” katanya. (Dairul)

bawahDPRmirisprotestunjangan
Comments (0)
Add Comment