DERAKPOST.COM – Pekerja anak dibawah umur pada perkebunan sawit, untuk disaa ini kembali menjadi sorotan dalam diskusi Industri Sawit: Melindungi Perempuan dan Menghapus Pekerja Anak. Hal ini diketahui ditaja pihaknya Forum Wartawan Pertanian (Forwatan). Kegiatan di lokasi Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta.
Sebagaimana diketahui Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan, Baginda Siagian didalam diskusi tersebut. Didalam forum itu, pemerintah dan peneliti menilai bahwa banyak temuan di lapangan kerap dipahami keliru, sehingga munculkan stigma bahwa sektor sawit tersebut masih mengandalkan halnya pekerja anak secara sistematis.
Salah persepsi, mengenai pekerja anak di perkebunan sawit. Dalam forum tersebut, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan Baginda Siagian, ungkap bahwasa implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33/2025 ini menjadi momentum penting memperkuat aspek ketenagakerjaan di industri sawit.
Seperti dikutip dari laman Sawitindonesia. Diketahui bahwa Regulasi baru ini menjadi payung hukum bagi seluruhan perusahaan sawit ini untuk memenuhi 5 kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan didalam rangka memperoleh halnya sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tersebut.
“Permentan 33/2025 menekankan bahwa seluruh aktivitas perusahaan, baik swasta maupun BUMN, kini dinilai kontribusinya terhadap 17 tujuan SDGs. ISPO wajib memastikan tidak ada pekerja anak, ada kesetaraan gender, dan perlindungan tenaga kerja,” ujar Baginda.
Baginda menjelaskan bahwa Bappenas akan mengaitkan penilaian pembangunan nasional dengan tingkat pemenuhan standar SDGs. Konsekuensinya, pemenuhan indikator ketenagakerjaan akan langsung berimplikasi pada proses audit ISPO.
Kementan menilai bahwa isu keberlanjutan bukan lagi sekadar tuntutan pasar global, tetapi kebutuhan domestik, mengingat besarnya ekosistem sawit Indonesia. Saat ini terdapat 9,6 juta pekerja langsung dan 7–8 juta pekerja tidak langsung yang menggantungkan hidup dari sawit. Jika dihitung dengan keluarganya, sedikitnya 50 juta jiwa bergantung pada industri ini.
“Sawit menyumbang 3,5% terhadap PDB dan menjadi pilar ketahanan energi melalui B40 serta rencana B50 tahun depan. Kalau keberlanjutan terganggu, baik dari produktivitas maupun standar tenaga kerja, ekspor bisa tertekan,” ujarnya.
Menurut Baginda, salah satu tantangan terbesar dalam aspek ketenagakerjaan masih terkait perlindungan perempuan. Misalnya, akses pekerja perempuan terhadap layanan kesehatan, cuti yang layak, ruang laktasi, hingga fasilitas penitipan anak masih belum merata di banyak wilayah Perkebunan.
Banyak laporan juga menyebut pekerja perempuan ditempatkan pada pekerjaan berisiko seperti penyemprotan pestisida, sering kali tanpa APD memadai. Tingkat upah perempuan juga kerap lebih rendah dari laki-laki meski beban kerja serupa dan tanggung jawab domestik lebih besar.
“Saya yakin perusahaan besar tidak akan mempraktekkan hal seperti ini. Biasanya ini perusahaan menengah kecil, atau perkebunan rakyat. Sebab jika perusahaan melakukan hal ini, akan menjadi temuan luar biasa. Dan mereka tidak akan memperoleh sertifikasi ISPO,” ujarnya.
Fenomena pekerja anak juga menjadi sorotan. Baginda menilai banyak temuan di perkebunan rakyat kerap disalahartikan oleh pihak eksternal. Katanya, seringkali anak-anak hanya ikut orang tuanya setelah pulang sekolah. Mereka tidak dipekerjakan secara formal. Tapi ketika ada yang mendokumentasikan, dianggap sebagai pekerja anak.
Meski demikian, ia memastikan bahwa perusahaan tetap dilarang mempekerjakan anak dalam bentuk apa pun, dan temuan pelanggaran akan membuat perusahaan gagal lolos audit ISPO.
Peneliti Utama BRIN, Delima Hasri Azahari, menegaskan bahwa kesalahpahaman publik mengenai aktivitas anak di kebun sering diperkuat oleh narasi LSM dan media.
“Anak-anak ini biasanya hanya memanen atau membantu orang tuanya sebentar. Tapi sering diangkat seolah-olah mereka bekerja penuh waktu dan tidak sekolah. Padahal tidak begitu,” ujarnya.
Ketua Umum GPPI itu mencontohkan pengalamannya semasa kecil di sekitar kebun karet, “Kami bermain di situ, bukan bekerja.”
Kendati begitu, Delima juga menyoroti sejumlah kekurangan umum di kebun, seperti tidak adanya ruang menyusui, jam operasional klinik kebun hanya enam jam, serta akses air bersih dan sanitasi yang belum layak.
Dari sisi regulasi, Delima menyebut Indonesia telah memiliki landasan hukum kuat seperti UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, serta skema ISPO/RSPO yang menyediakan mekanisme pengaduan daring.
Sejumlah perusahaan juga sudah menerapkan inisiatif gender, seperti komite gender di kebun-kebun PT SMART dan Wilmar, serta PAUD dan posyandu di 28 estate Musim Mas. LSM seperti Sawit Watch juga menginisiasi sekolah keliling bagi anak buruh sawit. (Dairul)