DERAKPOST.COM – Hingga saat sekarang, Rahman mantan Direktur Utama (Dirut) PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH), diketahui sudah tiga kali mangkir dipanggil penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Ia
memilih absen dengan tidak ada kabar dan tidak ada keterangan.
Padahal, kehadirannya dibutuhkan dalam pusaran perkara korupsi dana Participating Interest (PI) 10 persen dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), nilai mencengangkan yaitu Rp551,4 miliar. Uang negara sebesar itu diduga dikelola serampangan dan juga keluar dari jalur aturan.
Diketahui, jadwal pemeriksaanya terakhir itu seharusnya digelar Senin, 14 Juli 2025. Namun, Rahman juga lagi-lagi tak muncul. Begitu pula itu penasihat hukum PT SPRH, Zulkifli yang bahkan tercatat telah dua kali mangkir. Penyidik menyebut sikap ini tidak kooperatif. Namun, langkah tegas belum juga terlihat.
“Iya, tidak hadir. Direktur Utama PT SPRH inisial R, sudah yang ketiga. Penasihat hukum PT SPRH inisial Z juga tidak hadir untuk kedua kalinya,” kata Zikrullah, Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas dari Kejati Riau baru-baru ini. Zikrullah dengan tegas menyebut penyidik masih menunggu petunjuk dari pimpinan Kejati Riau.
Dikutip dari laman Riausatu. Dalam hal ini, Zikrulah tidak ada dijelaskan apakah akan ada upaya jemput paksa yang menjadi opsi ataupun juga kembali itu dilayangkan surat pemanggilan keempat.
Terkait ini, dimintai pendapatnya, praktisi hukum Alhendri Tandjung, SH, MH, CLA, menyebut Kejati Riau seolah sedang diuji oleh para saksi. “Kalau sudah tiga kali mangkir dan tidak ada alasan sah, penyidik seharusnya tidak ragu menjemput paksa. Kewenangannya ada,” ujarnya.
Ia khawatir, sikap lembek justru menjadi celah bagi upaya mengaburkan perkara. Maka, menurut Alhendri, mangkir berulang itu bukan hanya bentuk perlawanan pasif terhadap hukum, tetapi juga bisa merusak wibawa institusi kejaksaan. Sehingga dari publik jadi bertanya-tanya, ada apa dengan penyidikan ini? Siapa sedang dilindungi.
Diketahui sebagaimana berita sebelumnya. Kasus ini, sendiri mencuat setelah Kejati Riau menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-06/L.4/Fd.1/06/2025 tertanggal 11 Juni 2025.
Dugaan korupsi mengemuka dari pengelolaan dana PI yang tidak sesuai aturan, bahkan tidak jelas penggunaannya. Dalam proses penyidikan, tim Pidana Khusus Kejati telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk Bendahara PT SPRH, Sundari.
Mereka juga menggeledah sejumlah lokasi strategis di Kota Bagansiapiapi, Rokan Hilir, mulai dari kantor perusahaan hingga rumah pribadi mantan direksi. Dari sana, penyidik menyita dokumen-dokumen yang disebut “penting” dan berkaitan langsung dengan penyimpangan dana PI. (Dairul)