Kajian Hukum Konflik IUPHHK-HTI di Desa Tumang Siak

BELAKANGAN ini, ada konflik UPHHK-HTI terjadi berada di Desa Tumang, Kabupaten Siak. Yaitu, menunjukan bahwasa masalah utama adalah ketidakjelasan status lahan. Sehingga ini menimbulkan konflik agraria dan ketidakpastian hukum. Dengan halnya penanganan itu membutuhkan waktu lama dan melelahkan.

Konflik ini terjadi antara masyarakat Desa Tumang dengan pihak perusahaan hutan tanaman, yaitu PT Seraya Sumber Lestari (SSL), yang juga mengindikasikan adanya tumpang tindihnya kepentingan, dan lahan yang tumpang tindih atau tidak jelas. Juga ketidakjelasan dan bahkan status abu-abu mengenai lahan yang diklaim masyarakat dan perusahaan IUPHHK-HTI menjadi akar konflik.

Konflik yang melibatkan masyarakat Desa Tumang dan perusahaan, yang karenakan ketidakpastian hukum ini berdampak pada sulitnya, dan lamanya proses penanganan konflik melalui jalur hukum. Artinya, pada konflik agraria yang timbul menjadi rumit, karena status lahan yang tidak jelas. Yang penanganan kasus dengan melalui sistem peradilan cenderung memakan waktu dan energi.

Untuk mendalami hal kajian ini lebih lanjut, maka dapat mencari dokumen ataupun hal penelitian itu yang lebih spesifik mengenai penanganan konflik agraria.

1. Dasar Hukum IUPHHK-HTI
– UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Mengatur pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman industri (HTI).
– PP No. 23 Tahun 2021 (turunan UU Cipta Kerja): Menyederhanakan perizinan berusaha termasuk IUPHHK-HTI.
– Permen LHK No. P.12/MENLHK/SETJEN/2019: Tentang pengelolaan hutan produksi lestari melalui HTI.
– UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA): Menjamin hak atas tanah masyarakat, termasuk hak ulayat dan hak milik.

2. Potensi Pelanggaran dan Konflik Hukum
– Tumpang tindih klaim lahan: PT SSL memiliki konsesi HTI, namun masyarakat telah mengelola dan menanam sawit di lahan tersebut secara turun-temurun.
– Hak masyarakat adat atau lokal: Jika masyarakat memiliki bukti penguasaan fisik dan sosial atas tanah, maka pengabaian hak tersebut oleh perusahaan dapat melanggar prinsip keadilan agraria.
– Tidak adanya konsultasi publik atau FPIC (Free, Prior, and Informed Consent): Jika izin HTI diberikan tanpa partisipasi masyarakat, maka cacat prosedural bisa terjadi.
– Potensi pelanggaran HAM: Penggusuran paksa, pencabutan tanaman, dan intimidasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi.

Jalan Penyelesaian yang Seharusnya Ditempuh

A. Identifikasi dan Verifikasi Lahan
– Pemerintah daerah dan Kementerian LHK perlu melakukan audit tata batas konsesi PT SSL dan verifikasi klaim masyarakat.
– Libatkan BPN dan saksi lokal untuk menentukan status hukum lahan.

B. Mediasi dan Dialog Multi-Pihak
– Bentuk tim mediasi independen yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, akademisi, dan LSM.
– Gunakan pendekatan restorative justice untuk menghindari kriminalisasi warga dan memulihkan hubungan sosial.

C. Revisi atau Redistribusi Konsesi
– Jika terbukti ada penguasaan masyarakat yang sah, pemerintah dapat:
– Merevisi batas konsesi PT SSL.
– Memberikan akses legal kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial atau Kemitraan Kehutanan.

D. Penegakan Hukum Proporsional
– Tindak tegas pelaku kekerasan dan pembakaran, namun hindari pendekatan represif terhadap warga yang menuntut hak.
– Dorong penyelesaian melalui jalur hukum perdata atau tata usaha negara jika diperlukan.

E. Transparansi dan Partisipasi Publik
– Publikasikan dokumen izin, peta konsesi, dan hasil mediasi.
– Libatkan masyarakat dalam pengawasan dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Penulis: Afrijon Ponggok

*Mahasiswa S2 Hukum UNILAK

hukumIUPHHK-HTIkajiankonfliksiak
Comments (0)
Add Comment