DERAKPOST.COM – Wakil Ketua dari KPK Johanis Tanak disaat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dihari Rabu (5/11/2025) menyebut, kalau total uang berhasil diamankan disaat Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini sebesar Rp1,6 miliar di Provinsi Riau dengan melibatkan Gubernur Abdul Wahid.
“Gubernur Riau Abdul Wahid, kini tengah menghadapi tuduhan pemerasan. Yakni, dipastikan sudah mengantongi total uang hasil pemerasan hingga mencapai Rp4,05 miliar. Namun, dalam OTT yang dilakukan oleh KPK di Riau, hanya Rp1,6 miliar yang berhasil disita,” ungkap Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam keterangan pers.
Disaat konferensi pers itu, Johanis Tanak, mengatakan, dari jumlah tersebut adalah Rp800 juta diantaranya berhasil disita dari lima Kepala UPT Wilayah I-V itu yang telah menjalani pemeriksaanya KPK. Sedangkan sisanya berjumlah Rp800 juta, ditemukan di kediaman Abdul Wahid di Jakarta dalam bentuknya itu mata uang asing, yakni 9.000 poundsterling dan US$3.000.
Tanak menambahkan, uang yang disita ini diketahui juga hanyalah sisa dari total uang yang telah diterima Abdul Wahid. Didalam hal ini, rentang waktu di bulan Juni hingga November 2025, Gubernur Riau ini diduga telah menerima uang pemerasan disebut sebagai ‘jatah preman’ sebanyak tiga kali dengan jumlah total ini mencapai Rp4,05 miliar.
Dana demikian tersebut merupa hasil dari penggelembungan anggaran Provinsi Riau 2025, yang awalnya hanya sebesar Rp71,6 miliar, namun kemudian dinaikkan menjadi Rp177,5 miliar. Pada pengaturan anggaran ini, Abdul Wahid disebutkan meminta jatah sebesar Rp7 miliar dari total dana diterima oleh Pemprov Riau. Dan penyerahan uang diistilahkan dengan sebutan ‘7 batang’.
Sebagaimana hal dikutip dari laman Media Indonesia. Saat ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Yaitu selain Abdul Wahid, dua tersangka lainnya adalah Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau, M. Arief Setiawan, serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
Saat ini, Abdul Wahid terancam hukuman berdasarkan Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini kembali mengungkap betapa besar potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan daerah. (Dairul)