SEBUAH keputusan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Perhubungan Republik Indonesia, tertanggal 8 Agustus 2025, telah melahirkan tanda tanya besar dan kecemasan kolektif di tengah masyarakat Riau.
Keputusan tersebut adalah pemberian izin khusus domestik dan internasional kepada Bandar Udara Sultan Syarief Haroen Setia Negara yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Yang menjadi masalah fundamental adalah: Bandara ini berada di kawasan industri dan dikelola penuh oleh pihak swasta (RAPP).
Bandara ini kini memiliki izin terbang internasional, sebuah keistimewaan yang secara tradisional dan strategis hanya dimiliki oleh bandara umum milik negara, yaitu Sultan Syarief Kasim II (SSK II) di Pekanbaru.
Pertanyaan kritisnya, yang bergema dari Riau hingga Jakarta, adalah: Atas dasar kajian apa izin ‘sakti’ ini diberikan? Apakah kedaulatan negara kini bisa diobral hanya demi memfasilitasi mobilitas korporasi?
Kejanggalan di Balik Pagar Tertutup
Bandara umum adalah pintu gerbang negara. Setiap penerbangan internasional harus melalui mekanisme kontrol kedaulatan yang ketat, meliputi: Imigrasi, Bea Cukai, dan Karantina (CIQ).
Fasilitas ini menjamin lalu lintas orang, barang, dan kesehatan sesuai dengan hukum nasional dan internasional.
Namun, Bandara Sultan Syarief Haroen Setia Negara beroperasi di dalam kawasan industri besar dengan pola pengelolaan yang tertutup. Ini menciptakan anomali serius.
Pemberian akses internasional pada entitas swasta di wilayah yang rawan pergerakan logistik korporasi skala besar, tanpa jaminan pengawasan negara yang setara, adalah sebuah potensi bahaya yang melemahkan kontrol pemerintah.
Khawatir ini adalah celah besar bagi lalu lintas ilegal atau pergerakan yang luput dari pantauan ketat.
Dalih pemerintah pusat bahwa izin ini diberikan untuk kepentingan logistik, kedaruratan, dan mobilitas industri terasa sangat tidak proporsional dibandingkan risiko kedaulatan yang dipertaruhkan.
Apakah kebutuhan industri begitu mendesak hingga harus menciptakan standar ganda dalam pengelolaan pintu gerbang internasional?
Jangan Sampai Ada ‘Negara dalam Negara’
Kekhawatiran utama masyarakat Riau adalah munculnya praktik ‘negara dalam negara’.
Kebijakan ini berpotensi menempatkan kepentingan korporasi di atas kepentingan publik dan kedaulatan negara.
Jika sebuah perusahaan dapat memiliki infrastruktur strategis dengan hak akses internasional eksklusif, lantas apa fungsi kontrol publik dan negara di wilayah tersebut?
Pengelolaan bandara sebagai infrastruktur vital tidak hanya menyangkut efisiensi penerbangan, tetapi juga menyangkut rasa aman, transparansi, dan kepatuhan hukum bagi seluruh warga negara.
Ketika bandara publik kita (SSK II) sudah tersedia, mengapa harus diberikan keistimewaan yang begitu besar kepada bandara milik swasta?
Seruan Mendesak: Klarifikasi dan Akuntabilitas
Didesak agar DPR RI, DPRD Provinsi Riau, dan Pemerintah Provinsi Riau segera bertindak.
Lembaga-lembaga perwakilan ini harus meminta klarifikasi khusus dan mendalam dari Kementerian Perhubungan.
Publik harus tahu secara transparan, apa dasar kajian hukum dan keamanan yang melandasi keputusan ini.
Polemik Bandara Pelalawan bukan sekadar isu penerbangan.
Ini adalah isu tentang transparansi kebijakan, kedaulatan wilayah, dan penolakan terhadap upaya pelemahan kontrol negara oleh kekuatan korporasi.
Masyarakat Riau menuntut kejelasan. Jangan biarkan pintu gerbang internasional kita dikelola dengan mekanisme yang tertutup dan menguntungkan segelintir pihak saja.
Negara harus hadir secara penuh, bukan hanya memberikan izin sakti, tetapi juga menjamin kedaulatan di setiap jengkal wilayahnya. ***
Penulis: Zulkarnain Kadir.
*Tokoh Masyarakat Riau