Galodo, Kerusakan Lingkungan Akibat Kejahatan Lingkungan

PASTINYA pada malam tanggal 26 November 2025, masyarakat yang bermukim di Sumatera (Khusunya Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh) tidak akan menyangka atau berpikiran bahwa besok paginya mereka akan kehilangan harta benda, atau bahkan kehilangan anggota keluarganya. Pada tanggal 25 s/d 27 November 2025 hujan memang turun dengan siklus seperti biasanya, yang diawali dengan awan hitam dan akhirnya setelah mengalamai presipitasi airnya pun jatuh kebumi.

Namun berdasarkan data dari BMKG curah hujan yang terjadi pada saat itu terbilang lebih ekstrim dari yang biasanya, selama periode 25-27 November 2025, BMKG juga mencatat curah hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 150 mm/hari terjadi di sejumlah wilayah sekitarnya, seperti: Aceh Utara (Aceh): 310,8 mm/hari. Medan (Sumatera Utara): 262,2 mm/hari. Tapanuli Tengah (Sumatera Utara): 229,7 mm/hari. Lantas apakah terjadinya bencana banjir bandang atau yang disebut oleh masyarakat Sumatera Barat dengan istilah “Galodo” ini harus menjadikan cuaca atau curah hujan ekstrim sebagai pihak yang bertanggung jawab?

Para pengamat (terutama sekali orang yang berkepentingan) memang sering kali dengan lantang menyuarakan tentang bencana yang terjadi disebabkan oleh cuaca ekstrim diluar kebiasaan, namun mereka selalu lupa untuk mencari akar masalah yang menyebabkan bencana itu terjadi. Sebagai negara tropis, Indonesia memang memiliki curah hujan yang cukup tinggi, tetapi jika dibandingkan dengan beberapa negara tropis lainnya Indonesia belum menjadi yang paling tinggi. Sebagai perbandingan Tingkat curah hujan bisa dilihat beberapa negara berikut, Papua Nugini: Sekitar 3.185 mm per tahun, Kepulauan Solomon: Sekitar 3.184 mm per tahun, Malaysia: Sekitar 3.124 mm per tahun, sedangkan Indonesia: Sekitar 2.702 mm per tahun.

Tetapi kita tidak pernah ada mendengar pemberitaan tetang banjir bandang yang terjadi di ketiga negara yang memiliki curah hujan lebih tinggi tersebut, berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia hujan seringkali menghadirkan bencana banjir. Padahal dalam Islam diajarkan bahwa hujan yang turun dari langit merupakan Berkah dari Allah SWT. Terkadang mungkin, sebagai manusia modern kita perlu belajar dengan kehidupan masa lalu nenek moyang bangsa ini. Terutama tentang pengelolaan lingkungkan hidup yang mereka lakukan.

Sebenarnya permasalahan lingkungan hidup ini bukan lah masalah yang hanya terjadi pada manusia modern semata. Namun, menurut pendapat penulis permasalahan lingkungan hidup ini tentunya sama tua dengan kehidupan manusia itu sendiri. Hanya saja pada masa lampau selain belum ada aturan tertulis yang mengatur tentang bagaimana melakukan perlindungan dan pemanfaatan lingkungan hidup. Hal ini, mungkin saja terjadi karena intensitasnya yang masih kecil dan belum serius seperti sekarang.

Karena, jika dibandingkan jumlah manusia di masa lampau dengan ketersediaan alam sebagai lingkungan hidup tentu masih tidak akan terlihat jika terjadi kerusakan. Namun dari beberapa kearifan lokal yang ada yang diwariskan secara turun temurun dan beberapa peninggalan kehidupan masa lalu bisa dilihat bagaimana pandainya masyarakat masa lalu menjaga dan memelihara lingkungan hidup dengan teknologi yang serba sederhana.

Perkembangan zaman dan segala kemajuan nya, membawa dampak terhadap hidup dan pola kehidupan manusia modern saat ini. Dampak yang dibawa oleh kemajuan peradaban yang ada saat ini tentunya harus dilihat dari dua sisi yang ada, yaitu dampak positif dan dampak negatif dari kemajuan peradaban itu sendiri. Dampak negatif ini lah yang selajutnya sering disebut dengan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan.

Kerusakan lingkung, sebenarnya tidak semata-mata ditimbulkan perkembangan pembangunan yang terjadi. Sering juga terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pengaruh alam itu sendiri seperti gempa bumi, banjir (Banjir tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan alam yang terjadi, namun jika kita telusuri lebih jauh lagi banjir yang terjadi sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup bisa saja merupakan akumulasi dari perbuatan manusia yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran) dan lain sebagainya.

Kerusakan lingkungan memang tidak mendatangkan dampak yang langsung pada saat kegiatan perusakan lingkungan sedang terjadi, seringkali dampak dari kerusakan lingkung yang terjadi baru dirasakan beberapa tahun setelahnya. Undang-Undang telah menetapkan apa yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan, pengertian ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Selain memberikan ruang lingkup tentang apa yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan, undang-undang juga meberikan pengertian tentang perusakan lingkungan. Perusakan lingkungan hidup ini terdapat pada Pasal 1 angka 16 yang menyatakan “Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Pembangunan industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan berbagai dampak baik yang bersifat positif maupun yang berdampak negatif yang biasa disebut dengan istilah efek samping. Efek samping tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi. Pencemaran lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.

Menurut Pasal 8 PP No. 22 Tahun 2021 Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:

* Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

* Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;

* Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan Pencemaran Lingkungan hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

* Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan bustan, serta lingkungan sosial dan budaya:

* Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

* Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik;

* Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

* Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara: dan/atau

* Penerapan teknologi yang diperkirakan mernpunyai potensi besar untuk mempengaruhi Lingkungan Hidup.

Hukum lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan agar lingkungan dan sumber daya alam tidak terganggu kesinambungan dan daya dukungnya. Di samping itu hukum lingkungan berfungsi sebagai sarana penindakan hukum bagi perbuatanperbuatan yang merusak atau mencemari lingkungan hidup dan sumber daya alam. Tegasnya, hukum lingkungan harus mampu berperan sebagai sarana pengaman bagi terlanjutkannya pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Akan tetapi dalam penerapannya, meskipun terdapat peraturan perundang-undangan yang diberlakukan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana yang cukup berat, namun kenyataannya di lapangan menunjukkan dari waktu ke waktu yang terdapat di wilayah baik pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kondisi lingkungan hidup memperihatinkan yang telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup.

Kejahatan lingkungan secara sederharna dapat lah diartikan sebagai tindakan ilegal yang melanggar undang-undang dan menyebabkan kerusakan signifikan terhadap lingkungan, satwa liar, sumber daya alam, dan kesehatan manusia. Contohnya termasuk penebangan liar, perdagangan satwa liar ilegal, pembuangan limbah ilegal, pencemaran air atau udara, serta perburuan spesies yang dilindungi. Kejahatan ini seringkali menguntungkan, sulit dideteksi, dan dapat terkait dengan kejahatan serius lainnya seperti perdagangan narkoba dan senjata api, dan lain sebagainya.

Tindak pidana lingkungan atau delik lingkungan adalah perintah dan larangan undangundang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda dengan tujuan untuk melindungi lingkungan secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan, satwa, lahan, udara, dan air serta manusia. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini delik lingkungan hidup hidup tidak hanya ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Unndang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), tapi ketentuan-ketentuan pidana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. (Takdir Rahmadi, 2011).

Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak memberikan batasan hukum kejahatan lingkungan, akan tetapi undang-undang tersebut mengklasifikasi jenis-jenis perbuatan baik itu berupa perusakan maupun pencemaran baik secara perorangan maupun korporasi, sekaligus ketentuan pidana sebagai akibat dari melakukan perbuatan pidana lingkungan. Oleh sebab itu, berdasarkan pada beberapa pengertian kejahatan lingkungan, dapat dipahami bahwa tindak pidana sebagai yang diatur dalam UUPPLH adalah merupakan bentuk-bentuk kejahatan terhadap lingkungan atau merupakan delik lingkungan hidup. Kejahatan adalah rechsdelicten, yaitu perbuatan perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. (Moeljatno, 2008).

UUPPLH 32 Tahun 2009 tidak memberikan batasan atau pengertian tentang kejahatan lingkungan, namun pada Pasal 97 menegaskan “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”. Berdasarkan UUPPLH 32 Tahun 2009 terdapat 19 bentuk perbuatan atau tindakan yang dapat dijatuhkan sanksi hukum pidana, diantaranya yaitu:

* Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan;

* Kelalaian mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan;

* Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan;

* Melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan;

* Pengelolaan limbah B3 tanpa izin;

* Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan;

* Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan tanpa izin;

* Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

* Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

* Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

* Melakukan pembakaran lahan;

* Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;

* Menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;

* Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal UKL-UPL;

* Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan;

* Pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atas peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan;

* Memberikan informasi palsu, menyesatkan yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan;

* Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaanpemerintah; dan

* Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas PPNS-LH.

 

Banjir bandang atau galodo menghantam pemukiman masyarakat, kebun, persawahan dan lahan pertanian lainnya beberapa hari yang lalu, bukan hanya sekedar membawa air bercampur lumpur dari pegunungan, tetapi material yang turun juga dipenuhi oleh potongan kayu dan batu. Sebagai bukti nyata dari banyak nya kayu log yang terdampar di Pantai Padang (Sumatera Barat) menunjukan adanya aktivitas penebangan kayu yang dilakukan.

Penebangan kayu ini bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat, orang perorangan atau bahkan oleh usaha-usaha yang berbentuk badan hukum. Jika penebangan kayu itu dilakukan sesuai dengan ketentun perundang-undangan yang berlaku, maka sejatinya tidak ada perbuatan kejahatan lingkungan yang terjadi. Akan tetapi, jika penebangan kayu dilakukan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka hal ini bisa disinyalair sebagai suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, dapat lah diambil suatu kesimpulan bahwa apa menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh, apakah yang disebut dengan istilah banjir bandang atau galodo beberapa hari yang lalu merupakan bentuk akibat dari akumulasi kejahatan-kejahatan lingkungan yang telah terjadi sebelumnya. Maka untuk menghindarkan masyarakat dari dampak kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, Pemerintah harus lebih intens lagi dalam melakukan pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan yang baik, dan tentunya akan menjadi warisan turun temurun bagi generasi yang akan datang.

Penulis: Dr. Gusri Putra Dodi, S.H., M.H.

* Praktisi Hukum dan Pemerhati Lingkungan

AkibatGalodokerusakanKsjahatanlingkungan
Comments (0)
Add Comment