DERAKPOST.COM – Saat ini rekening PT Pengembangan Investasi Riau (PIR) yang merupakan salah satu BUMD, diblokir oleh Kantor Pajak. Pemblokiran itu dilakukan karena Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Riau itu bermasalah hutang ratusan miliar lebih.
PT PIR ada hutang dengan kompensasi Domestic Market Obligation (DMO) lebih kurang sekitar Rp2 miliar. Kemudian juga ditambah kurang bayar royalti batu bara sekitar Rp90 miliar. Ada lagi tambahan hutang pajak total Rp9 miliar lebih, tapi yang sudah inkrah Rp4,5 miliar.
Demikian cerita diungkap Direktur PT PIR Muhammad Suhandi, Rabu (24/9/2025), di DPRD Riau. Ia mengatakan, bahwa saat ini perusahaan yang dikelolanya mengalami permasalahan. Dari semua permasalahan itu, ungkap Andi, membuat PT PIR sampai saat sekarang masih shutdown. Hal yang dikarenakan semua rekening perusahaan sudah diblokir.
Suhandi yang baru dipercayakan menjabat Direktur BUMD PT PIR ini, mengungkapkan kondisi memprihatinkan tengah dihadapi oleh perusahaan daerah tersebut. Suhandi menjelaskan bahwa PT PIR saat ini tengah menghadapi sejumlah permasalahan serius yang membuat seluruh aktivitas operasional nyaris terhenti.
“Memang kondisi PT PIR saat ini mengalami permasalahan yang cukup besar. Rekening perusahaan telah diblokir, sehingga kami tidak dapat melakukan transaksi maupun membiayai operasional dan karyawan terancam tidak gajian,” ujar Suhandi.
Suhandi merinci, perusahaan menghadapi piutang sebesar Rp2 miliar, tunggakan royalti batubara kepada Kementerian ESDM sebesar Rp90 miliar, dan utang pajak sekitar Rp9 miliar di mana Rp4,5 miliar di antaranya sudah inkrah.
“Dengan kondisi ini, perusahaan saat ini dalam keadaan shutdown. Namun, saya telah menjalin komunikasi dengan Kanwil Pajak agar rekening bisa dibuka kembali. Kami berkomitmen untuk menyelesaikan seluruh tunggakan secara bertahap dan meminta diberikan kesempatan untuk memulai kembali bisnis ini,” jelasnya.
Untuk mengatasi krisis yang ada, Suhandi telah memetakan potensi kerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk para penambang dan trader batubara. Ia menyebut saat ini sudah ada dua pihak yang siap membantu melalui sistem deposit guna menutupi sebagian kewajiban PT PIR dan membuka peluang mendapatkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2026.
“Target saya, kita bisa melampaui produksi sebelumnya yang hanya mencapai 900 ribu metrik ton per tahun. Dengan pasar yang cukup baik, baik ekspor maupun domestik, kami optimis bisa tembus 1 juta ton, bahkan harapannya bisa dua kali lipat,” tegasnya.
Dengan asumsi harga batu bara di angka Rp34 ribu per metrik ton, potensi omset dari 1 juta ton bisa mencapai Rp 34 miliar. Selain peningkatan pendapatan, PT PIR juga berencana melakukan efisiensi besar-besaran, terutama pembiayaan operasional kantor dan usaha-usaha yang tidak produktif seperti bisnis kapal yang tidak berjalan.
“Fokus kita harus kembali ke core business, yakni batu bara. Kami akan pangkas pemborosan dan hanya mempertahankan yang produktif,” ujar Suhaidi.
Saat ini katanya PT PIR memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan) seluas 1.750 hektar, dengan cadangan baru yang telah dibuat feasibility study (FS) dan amdal sekitar 250 hektar, setara dengan 20 juta metrik ton batu bara. Cadangan ini diproyeksikan bernilai miliaran rupiah jika diuangkan.
Selain itu, menurut Suhandi, banyak IUP di sekitar wilayah operasional PT PIR yang sudah habis masa berlakunya dan berpotensi dikerjasamakan dengan BUMD seperti PT PIR yang memiliki pengalaman.
“Permasalahan kita hanya di pembiayaan. Untuk itu kami terbuka mencari mitra atau pola Kerja Sama Operasi (KSO) agar pendanaan dan produksi bisa berjalan bersama,” imbuhnya.
Ditanya soal deviden, Suhandi mengatakan PT PIR sebelumnya pernah menyetorkan dividen ketiga pemegang saham yakni Provinsi Riau, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir hingga mencapai Rp11 miliar. Namun pada tahun terakhir, 2024, dividen yang disetorkan hanya Rp2,4 miliar karena anjloknya perusahaan.
“Kami ingin mengembalikan kejayaan itu. Kalau bisnis membaik, tentu dividen untuk pemerintah daerah juga akan meningkat,” tambah Suhaidi. Dalam hal ini, menyoroti lemah manajemen BUMD ini sebelumnya yang tidak mampu yakinkan Kementerian ESDM untuk mendapatkan RKAB tahun 2025, serta tidak adanya strategi yang jelas untuk menyelesaikan utang perusahaan.
(Dairul)