DERAKPOST.COM – Melihat adegan film Madu Tiga, Jamil (P. Ramlee) bukan main baik lagi dengan Pak Abu. Padahal, Pak Abu sebelumnya azab kena marah lantaran tak bayar sewa rumah tapi karena Pak Abu ketahuan punya anak gadis yang molek, Jamil menjadi baik dan iklas membantu Pak Abu. “Baik? Baik ada makna tu,” begitu penggalan dialog Pak Abu dengan anak gadisnya ketika memuji Jamil.
Di ruang sidang Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Selasa siang, Alek Kurniawan duduk tenang di kursi saksi. Mantan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru itu tampak tak tergesa, tak pula gelisah. Tapi ucapannya perlahan-lahan menggiring ruang sidang pada satu kenyataan, uang kerap mengalir ke atasan bukan karena permintaan, tapi karena kebiasaan.
“Rp40 juta. Dua kali,” katanya pelan, saat Jaksa Penuntut Umum KPK menanyakan nominal uang yang ia berikan kepada Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, seperti dikutip dari laman Riaukepri.
Uang itu, menurut Alek, tak pernah diminta. Ia berikan dengan “ikhlas”, lantaran merasa Pj Wali Kota “banyak kebutuhan.” Sontak, pernyataan ini memancing serangkaian tanya dari majelis hakim. Apa benar seorang kepala daerah pantas menerima “amplop ikhlas” dari bawahannya? Apa loyalitas kini bisa dibayar kontan, dan dikirim lewat ajudan?
Amplop yang Tidak Diminta
“Pak Wali, saya dapat rezeki, tapi tak bawa barangnya. Nanti saya titip ke ajudan,” ujar Alek, mengulang ucapannya kepada Risnandar saat hendak menyerahkan uang.
Uang itu disalurkan lewat ajudan pribadi sang Wali Kota, Nugroho Dwi Triputranto alias Untung. Tak ada catatan resmi, tak ada kwitansi, hanya relasi kuasa yang sudah terlampau cair hingga tidak terasa lagi batas antara loyalitas dan gratifikasi.
Saat hakim bertanya soal sumber uang, Alek menjawab gamblang, insentif pajak. Sebagai Kepala Bapenda, ia menerima Rp130 juta sampai Rp140 juta sekali dalam tiga bulan. Dari situlah “rejeki” itu diambil, dan dialirkan ke jalur informal yang bernama hubungan atasan-bawahan.
“Kenapa kau tak kasih saja asetmu sekalian untuk kebutuhannya?” sindir hakim Jonson Parancis, separuh satir, separuh getir.
Vitamin Ajudan
Yang lebih menggelikan, dalam kesaksian yang sama, Alek juga mengaku memberikan uang kepada ajudan. Alasannya? Untuk beli vitamin.
“Tidak tepat sasaran, Pak. Ajudan itu gemuk-gemuk, sehat-sehat. Tidak perlu vitamin!” tegur hakim Andrian HB Hutagalung. “Yang harus kalian perhatikan itu masyarakat Pekanbaru.”
Ruang sidang sempat pecah tawa. Tapi di balik canda, pernyataan hakim menyimpan kritik telak, dana publik tak bisa dijadikan instrumen menjilat kekuasaan. Terlebih, ini bukan sekadar amplop silaturahmi, ini bagian dari pusaran korupsi yang membelit elite Pemko Pekanbaru.
Operasi Tangkap Tangan dan Uang Rakyat
Risnandar Mahiwa, Indra Pomi Nasution (Sekda Kota Pekanbaru), dan Novin Karmila (eks Kabag Umum) bukan nama sembarangan. Mereka puncak dari piramida birokrasi kota. Ketiganya terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK pada 2 Desember 2024. Mereka diduga mengatur pemotongan dana GU dan TU di Bagian Umum Sekretariat Daerah, dengan total nilai nyaris Rp9 miliar. Uang itu bersumber dari APBD Pekanbaru 2024, uang rakyat.
Tak hanya itu, mereka juga menerima gratifikasi dari sejumlah ASN, termasuk Alek. Bentuknya macam-macam: uang tunai, barang mewah, dan barangkali juga dukungan jabatan.
“Kalau uang itu diberikan untuk masyarakat Pekanbaru, tentu jauh lebih bermanfaat,” ucap hakim Andrian, mengingatkan saksi dan publik yang mendengarkan.
Kalau Ada Rezeki, Saya Kasih Lag
Sidang terus bergulir, tapi satu pernyataan Alek seolah mengunci kegilaan birokrasi ini dalam satu kalimat: “Kalau ada rezeki, Yang Mulia.”
Ia mengucapkannya saat hakim bertanya apakah masih bersedia memberi uang kepada Risnandar, seandainya masih menjabat. Kata-kata itu mengundang tawa, tapi juga menampar. Sebab dalam sistem birokrasi yang terlalu lentur, di mana loyalitas dibayar kontan, dan keikhlasan jadi tameng gratifikasi, korupsi bukan soal niat buruk, tapi soal kebiasaan yang dibiarkan. (Dairul)