DERAKPOST.COM – Wakil Gubernur Riau (Wagubri) Sofyan Franyata (SF) Hariyanto akan dijadwalkanya dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal inipun, sebagai saksi pelapor, sebab diduga mengetahui konstruksi perkara dugaanya korupsi anggaran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) ini menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid.
Dikutip dari laman Tribunnews. Juru Bicara (Jubir) KPK Budi Prasetyo ini, mengatakan pemanggilan SF Hariyanto akan dilakukan apabila pihak penyidik menilai keterangan penting untuk hal memperjelas alur kasus tersebut. Artinya, kebutuhan pemeriksaan terhadap pihak-pihak tentunya disesuaikan itu dengan relevansi pengetahuan terhadap perkara yang terjadi pada kasus ini.
“Kalau memang itu dibutuhkan, pasti akan dilakukan pemanggilan oleh penyidik. Dan juga hal kebutuhan pemeriksaan terhadap pihak-pihak itu, nanti tentunya disesuaikan dengan relevansi pengetahuanya terhadap perkara ini. Kalau memang itu dibutuhkan, pasti akan dilakukan hal pemanggilan oleh penyidik,” ujar Budi di Jakarta kepada awak media dalam keterangan kemarin.
Budi menjelaskan, proses pendalaman kasus hasil operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid masih terus berjalan. Sejumlah pihak yang diamankan kini tengah diperiksa secara intensif oleh tim penyidik KPK.
“Tim saat ini masih fokus melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang sudah diamankan hari ini,” tambahnya.
Sebelumnya, KPK menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid alias AW dalam operasi tangkap tangan pada Senin (3/11). Dalam operasi itu, tim KPK mengamankan uang dalam berbagai mata uang, mulai dari rupiah, dolar AS, hingga poundsterling, dengan nilai total sekitar Rp1,6 miliar.
“Uang tersebut diduga sebagian dari dana yang telah diterima Abdul Wahid sebelum terjaring OTT. Sebelum kegiatan tangkap tangan ini, diduga sudah ada penyerahan uang lainnya,” ungkap Budi.
Budi menyebutkan, uang tunai dalam rupiah diamankan di Riau, sementara dolar dan poundsterling ditemukan di rumah pribadi Abdul Wahid di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Lebih lanjut, Budi mengungkapkan modus yang digunakan dalam kasus ini adalah adanya praktik “jatah preman” atau japrem dalam penambahan anggaran di Dinas PUPR.
“Terkait penambahan anggaran di Dinas PUPR, kemudian ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya,” kata Budi.
KPK menduga Abdul Wahid meminta bagian tertentu dari para Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas PUPR. Beberapa di antara mereka telah dimintai keterangan untuk memperkuat pembuktian kasus. (Dairul)